Penolakan DPR sebenarnya tak berdasar.
Karena sudah ada undang-undang yang terkait mengenai pembatasan
transaksi tunai. Tepatnya, setahun setelah Proklamasi dibacakan
Soekarno-Hatta.
Pengaturan yang dimaksud tertuang dalam UU No 10 Tahun 1946
tentang Pembawaan Uang dari Satu ke Lain Daerah. Undang-undang yang
terdiri dari tujuh pasal itu ditandatangani Presiden Soekarno dan
Menteri Keuangan Soerachman pada 22 Juni 1946 di Yogyakarta. Lalu
diumumkan pada tanggal sama oleh Sekretaris Negara AG Pringgodigdo.
Pasal terakhir di UU No 10 Tahun 1946
tertulis, undang-undang ini dapat disebut UU Pembawaan Uang. Dan berlaku
seminggu setelah diumumkan.
Tertulis pada Pasal 1, orang yang
tinggal di Jawa dan Madura dilarang membawa uang melebihi Rp1.000.
kecuali mendapat izin kepala daerah atau pegawai lain menurut peraturan
yang ditetapkan Menteri Perdagangan dan Perindustrian.
Sedangkan seseorang dari luar Pulau Jawa
dan Madura, hanya dibolehkan membawa uang maksimal Rp5.000, begitu isi
Pasal 3. Ketentuan maksimal uang yang boleh dibawa tidak berlaku bagi
pembawaan uang negara setelah mendapat izin menteri.
Mereka yang melanggar, menurut Pasal 6,
dihukum paling tinggi setahun. Sedangkan uang dirampas untuk negara,
termasuk yang bukan milik terhukum.
Tak hanya pembatasan pembawaan uang.
Presiden Soekarno dan Menteri Keuangan (ad interim) Mohammad Hatta pada
30 Oktober 1948 menetapkan UU No 32 Tahun 1948 tentang Peredaran Uang dengan Perantaraan Bank. Kemudian diumumkan Sekneg kala itu, AG Pringgodigdo pada hari sama.
Disebutkan dalam undang-undang itu,
transaksi yang melebihi Rp25 ribu harus melalui bank, demikian Pasal 1.
Sedangkan Pasal 5, mereka yang melanggar dihukum denda Rp100.000 atau
penjara paling lama setahun. Begitu pula yang menerima pembayaran
melebihi Rp25 ribu dihukum sama. Negara juga punya hak merampas uang.
Menurut praktisi hukum, Chandra M
Hamzah, kedua undang-undang tersebut belum dicabut, sehingga sudah ada
norma yang berlaku terkait pembatasan transaksi tunai. “Tidak perlu
ciptakan norma baru dan tinggal diterapkan dengan mengubah maksimal
nilai transaksi tunai,” paparnya dalam diskusi terkait peluncuran buku
‘Membatasi Transaksi Tunai, Peluang dan Tantangan’ di Jakarta, Rabu
(29/5).
Salah satu penulis buku ini, Andri Gunawan pada kesempatan sama menyatakan pembatasan transaksi tunai masuk dalam Inpres No 17 Tahun 2011 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Tahun 2011. Diamanatkan sebuah aksi dalam implementasi UU No 3 Tahun 2011 tentang Transfer Dana. Yaitu, membuat kajian pembatasan transaksi tunai oleh BI dan Kementerian Keuangan.
“Sudah ada draf naskah akademik tentang
RUU Pembatasan Transaksi Tunai dan diserahkan ke BPHN, tapi tak lagi
terdengar,” paparnya.
Menurut dia, pembatasan transaksi tunai
dibutuhkan untuk mengurangi korupsi. Pendapat itu diperkuat data
penanganan perkara korupsi yang ditangani KPK. Setidaknya selama
2004-2012, KPK menangani 116 perkara suap dengan mayoritas barang bukti
adalah uang suap dalam jumlah besar.
Karena itu, UU No 3 Tahun 2011 dalam
proses pembahasan di DPR, PPATK mengusulkan pembatasan transaksi
maksimal Rp100 juta. Tapi, usulan tersebut ditolak DPR dengan alasan
masyarakat belum siap.
Wakil Ketua KPK, Bambang Widjojanto
sepakat ada regulasi pembatasan transaksi tunai. “Banyaknya kasus suap
yang terungkap harusnya menjadi momentum pembuat undang-undang membuat
peraturan pembatasan transaksi tunai,” paparnya.
Momentum yang dimaksud adalah karena
secara empiris, menjelang pemilihan umum, transaksi tunai mengalami
kenaikan. Sebagian besar, lanjutnya menggunakan uang palsu dan terjadi
di Pulau Jawa. “Jadi, pembatasan transaksi tunai dapat menekan peredaran
uang palsu.”
Tak hanya itu, lanjut Andri, pembatasan
transaksi tunai juga akan membuat pendapatan bank meningkat karena makin
banyak transaksi melalui perbankan. Lalu menghemat anggaran negara
terkait pencetakan uang yang nilainya mencapai tiliunan rupiah per
tahun. Juga meningkatkan pendapatan pajak karena ada catatan jelas
mengenai aset seseorang yang melakukan transaksi keuangan.
Penulis, LEO WISNU SUSAPTO
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt51a60c1959b9c/sejak-1946--pemerintah-larang-pembawaan-uang-melebihi-rp1000
Tidak ada komentar:
Posting Komentar