foto: rimanews.com |
Maraknya
konflik agraria atau sengketa lahan antara masyarakat dengan pihak perusahaan
umumnya disebabkan ketidakjelasan tapal batas. Pertikaian antara masyarakat dengan pemerintah, masyarakat dengan
pengusaha atau masyarakat dengan masyarakat sendiri masih ramai terjadi.
Seperti kasus Mesuji, NTB, Freeport dan lain-lain yang tak jarang memakan
korban jiwa.
Keteledoran administrasi atau dokumen
pertanahan oleh BPN merupakan awal dari keributan. Masing-masing pihak merasa
memiliki hak atas tanah tersebut. Pada dimensi ini, konflik pertanahan sering
di antara petani atau warga masyarakat sekitar melawan perusahaan swasta maupun
negara.
Yang bikin masalah tambah runyam, konflik tanah cenderung terbiarkan lama
penyelesaiannya. Perusahaan swasta dan negara lebih memilih jalur pengadilan
untuk menyelesaikannya. Itulah
yang sering ditolak oleh masyarakat. Sebab, hasil pengadilan sering memenangkan
perusahaan karena memiliki dokumen-dokumen legal.
Sepanjang tahun 2011
lalu, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat telah terjadi sedikitnya 163
konflik agraria yang mengakibatkan 22 petani mati dan 42 orang lainnya luka tertembak,
141 luka-luka pukulan, dan 295 petani ditahan. Kasus tersebut melibatkan korban
lansung sejumlah 69.950 KK dengan luas areal sengketa 472.984,44 hektar.
Masalah
lain yang menjadi pemicu konflik adalah masalah pembagian lahan. Luas hutan Indonesia adalah 136,94 juta
ha (69% dari luas Indonesia), dari luas
hutan itu sekitar 121, 74 juta hektar kawasan hutan belum didata batas oleh
pemerintah. Menurut data Kemenhut, luas HTI sekitar 9,39 juta ha dikelola oleh 262
perusahaan dengan izin hingga seratus tahun. Luas LPH di Indonesia 21,49 juta
ha yang dikelola oleh 303 perusahaan.
Dan
disektor perkebunan 9,4 juta ha dikelola oleh 600 perusahaan sawit. Sedangkan
hutan tanaman yang dikelola oleh rakyat, luasnya hanya 631,623 ha. Disini jelas
terlihat bahwa pemerintah lebih memilih memberikan kebebasan mengelola hutan
berjuta hektar itu kepada pemilik modal besar dari pada membiarkannya dikelola
oleh masyarakat yang bahkan masih banyak yang belum memiliki lahan.
Dari segi yuridis, banyak dari kebijakan
pemerintah yang mengorbankan para petani “kelas bawah”. Misalnya, Undang-undang
(UU) Nomor 18 tahun 2004 tentang Perkebunan. Pasalnya, UU itu memberikan
legalitas yang kuat kepada perusahaa untuk mengambil tanah-tanah yang dikuasai
rakyat. Pasal 20 juga dengan jelas
memperbolehkan perusahaan perkebunan melakukan pengamanan usaha perkebunan
berkoordinasi dengan aparat keamanan dan masyarakat setempat. Pasal
tersebut digunakan untuk membentuk tim pengamanan khusus ”Pam Swakarsa”
yang didukung oleh aparat keamanan. Hal itu kemudian digunakan sebagai senjata
oleh perusahaan ketika berkonflik dengan masyarakat.
Disisi lain, kondisi
rakyat “kelas bawah” di Indonesia sungguh sangat tragis bahwa kemiskinan,
busung lapar dan keadaan buruk lainnya menerpa mereka. Sampai hari ini jumlah
penduduk miskin terbesar, menetap di pedesaan dan mayoritas bekerja sebagai
buruh dan petani. Dari 135 juta jiwa (57 %) penduduk yang tinggal di desa, 16,7
% masuk dalam katagori sangat miskin. Padahal para petani di negara tetangga kita,
Misalnya, Thailand, mempunyai kehidupan ekonomi yang mapan. Tak terdengar dari
petani disana seperti keluhan-keluhan dari masyarakat kita bahwa pekerjaan
petani itu adalah pekerjaan yang rendah.
Saat ini ada sekitar
28 juta rumah tangga petani di Indonesia. Dari jumlah itu 6,1 juta yang menetap
di Jawa dan 5 juta rumah tangga petani di luar Jawa tidak memiliki lahan.
Mereka hanya berprofesi sebagai buruh tani. Sedangkan sisanya hanya memiliki
lahan rata-rata 0,36 ha. Padahal luas
kawasan hutan Indonesia sangat memungkinkan menjadikan petaninya makmur dan
semuanya memiliki lahan. Tapi apa daya pemerintah sepertinya tidak terlalu
memperdulikan nasip para petani kita ini.
Reforma agraria
Dari sinilah
sebenarnya akar mula timbulnya konflik agraria di Indonesia dan ini akan terus
berlanjut. Jika tidak diatasi konflik agraria ini bisa menjadi masalah yang
serius dimasa depan. Oleh karena itu gerakan untuk reforma agraria merupakan
kebutuhan yang mendesak.
Sebenarnya dalam UUPA
1960 gagasan reforma agraria ini telah ada tetapi dalam perjalanannya (semasa
orde baru) tidak berjalan dengan semestinya. Gagasan reforma agraria seperti
yang termaktub dalam UUPA 1960 merupakan tindakan penataan ulang atau
restrukturisasi pemilikan, penguasaan dan penggunaan sumber-sumber agraria
terutama tanah untuk kepentingan petani, buruh tani dan rakyat kecil atau
golongan ekonomi lemah.
Inti dari reforma
agraria adalah land reform (restribusi kepemilikan dan penguasaan tanah) dan
akses reform (pembentukan program-progam penunjang seperti pengairan,
pengkreditan, penyuluhan, pendidikan, pemasaran dan sebagainya). Inilah apa
yang akan diperjuangkan dalam reforma agraria. Dengan kata lain dalam reforma
agraria itu kepentingan masyarakat kecil harus lebih diutamakan dari pada
kepentingan pemilik modal, negara atau yang lainnya. Hal ini sesuai dengan
amanat yang terkandung dalam pembukaan UUD 1945 dan pasal 33 UUD 1945 bahwa
semua tindakan negara harus berorientasi pada penciptaan keadilan sosial,
peningkatan produktifitas dan peningkatan kesejahtraan rakyat umum, terutama
masyarakat kelas bawah.
Setahu saya dulu
diawal 2007 presiden SBY dalam pidatonya di TVRI (31 Januari 2007) pernah
menyebutkan tentang perlu adanya reforma agraria ini. Dalam pidatonya tersebut
presiden SBY hanya menekankan dua hal untuk reforma agraria, yaitu,
redistribusi lahan secara terbatas dan sertifikasi tanah. Redistribusi lahan
ini dicanangkan untuk masyarakat miskin dengan luas lahan kira-kira 8,15 juta
hektar. Sedangkan sertifikasi tanah di tujukan untuk tanah-tanah yang dimiliki
oleh masyarakat secara turun temurun dan juga tanah-tanah yang diberikan negara
tetapi belum sah secara administrasi.
Dengan adanya program
ini masyarakat yang punya tanah secara turun temurun atau tanah hasil pembukaan
lahan baru akan dipermudah untuk mendapat sertifikat. Saya tidak tahu pasti sejauh mana program reforma agraria SBY
ini sudah dijalankan tetapi yang pasti konflik-konflik akibat sertifikat tanah
masih ramai dilapangan, seperti Mesuji dan lainnya dan jumlah masyarakat petani
yang tidak memiliki lahan juga tidak kalah banyaknya. Saat ini ada sekitar 6,1 juta petani yang menetap di Jawa dan 5
juta lainnya di luar Jawa yang tidak memiliki lahan sama sekali.
Sebenarnya ada hal lain
yang tak kalah penting yang perlu dilaksanakan pemerintah dalam permasalahan
agraria ini yaitu pembatasan maksimal luas tanah yang boleh dikuasai oleh individu
atau perusahaan. Karena sampai saat ini sebagian besar lahan kita dikuasai oleh
individu atau perusahaan-perusahaan besar. Memang dalam UUP 1960 pembatasan
maksimal lahan ini sudah diatur dalam Perpu 56 tahun 1960 (56/1960) tetapi sampai
saat ini tidak berjalan.
Program
itu terhenti pada 1965 karena prahara politik, dan seiring pergantian rezim,
kondisi politik terbalikkan dengan kebijakan "rumah terbuka." Hutan,
tambang, dan sumber daya agraria lain dijual demi pertumbuhan ekonomi. Tanah
menjadi komoditas.
Pada
1967, Orde Baru mengubah orientasi kebijakan yang berbeda dengan sebelumnya.
Pertama, mengejar pertumbuhan tinggi melalui utang luar negeri. Kedua,
mendorong investasi asing dengan berbagai kemudahan dan tax
holiday. Ketiga, menuju mekanisme pasar, perdagangan, dan rezim
devisa bebas.
Ketiga
hal tersebut telah mengubah kebijakan agraria yang selalu dikaitkan dengan
utang, membuat negeri ini tidak berdaulat secara politik. Perekonomian digiring
dalam kapitalisme global sehingga tidak lagi mampu berdiri di atas kaki
sendiri, dan pada gilirannya kini kebudayaan agraria (agrarian
culture) di negeri agraris terasa hilang kepribadiannya.
Selain itu kita juga
membutuhkan peradilan agraria. Dahulu kita memiliki
pengadilan kusus terkait agrari (landreform) sebelum dibubarkan pada
1970. Peradilan Agraria adalah langkah yang tepat dan strategis untuk
menanggulangi dan memperminim konflik agraria. Tidak saja untuk kepentingan
kekinian dalam menyelesaikan konflik (conflict resolution), namun juga
memiliki kepentingan untuk mengurangi dan mengantisipasi konflik agraria di
masa depan (conflict prevention). Sebagai negara agraris sudah
seharusnya kita memiliki paradilan yang khusus menangani masalah agraria ini.
Semoga bermamfaat!
Teuku Saifullah, Kader HMI Kom. syariah IAIN Walisongo
Semarang, (http://issuu.com/lampungpost/docs/lampungpost_edisi_31_maret_2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar