Kamis, 23 Mei 2013

Reforma Agraria; Solusi Konflik Pertanahan

foto: rimanews.com


Maraknya konflik agraria atau sengketa lahan antara masyarakat dengan pihak perusahaan umumnya disebabkan ketidakjelasan tapal batas. Pertikaian antara masyarakat dengan pemerintah, masyarakat dengan pengusaha atau masyarakat dengan masyarakat sendiri masih ramai terjadi. Seperti kasus Mesuji, NTB, Freeport dan lain-lain yang tak jarang memakan korban jiwa.

 Keteledoran administrasi atau dokumen pertanahan oleh BPN merupakan awal dari keributan. Masing-masing pihak merasa memiliki hak atas tanah tersebut. Pada dimensi ini, konflik pertanahan sering di antara petani atau warga masyarakat sekitar melawan perusahaan swasta maupun negara.

Yang bikin masalah tambah runyam, konflik tanah cenderung terbiarkan lama penyelesaiannya. Perusahaan swasta dan negara lebih memilih jalur pengadilan untuk menyelesaikannya. Itulah yang sering ditolak oleh masyarakat. Sebab, hasil pengadilan sering memenangkan perusahaan karena memiliki dokumen-dokumen legal.

Sepanjang tahun 2011 lalu, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat telah terjadi sedikitnya 163 konflik agraria yang mengakibatkan 22 petani mati dan 42 orang lainnya luka tertembak, 141 luka-luka pukulan, dan 295 petani ditahan. Kasus tersebut melibatkan korban lansung sejumlah 69.950 KK dengan luas areal sengketa 472.984,44 hektar.

Masalah lain yang menjadi pemicu konflik adalah masalah pembagian lahan.  Luas hutan Indonesia adalah 136,94 juta ha  (69% dari luas Indonesia), dari luas hutan itu sekitar 121, 74 juta hektar kawasan hutan belum didata batas oleh pemerintah. Menurut data Kemenhut, luas HTI sekitar 9,39 juta ha dikelola oleh 262 perusahaan dengan izin hingga seratus tahun. Luas LPH di Indonesia 21,49 juta ha yang dikelola oleh 303 perusahaan.

Dan disektor perkebunan 9,4 juta ha dikelola oleh 600 perusahaan sawit. Sedangkan hutan tanaman yang dikelola oleh rakyat, luasnya hanya 631,623 ha. Disini jelas terlihat bahwa pemerintah lebih memilih memberikan kebebasan mengelola hutan berjuta hektar itu kepada pemilik modal besar dari pada membiarkannya dikelola oleh masyarakat yang bahkan masih banyak yang belum memiliki lahan.

Dari segi yuridis, banyak dari kebijakan pemerintah yang mengorbankan para petani “kelas bawah”. Misalnya, Undang-undang (UU) Nomor 18 tahun 2004 tentang Perkebunan. Pasalnya, UU itu memberikan legalitas yang kuat kepada perusahaa untuk mengambil tanah-tanah yang dikuasai rakyat. Pasal  20  juga dengan jelas memperbolehkan perusahaan perkebunan melakukan pengamanan usaha perkebunan berkoordinasi dengan aparat keamanan dan masyarakat setempat.  Pasal tersebut digunakan  untuk membentuk tim pengamanan khusus ”Pam Swakarsa” yang didukung oleh aparat keamanan. Hal itu kemudian digunakan sebagai senjata oleh perusahaan ketika berkonflik dengan masyarakat.

Disisi lain, kondisi rakyat “kelas bawah” di Indonesia sungguh sangat tragis bahwa kemiskinan, busung lapar dan keadaan buruk lainnya menerpa mereka. Sampai hari ini jumlah penduduk miskin terbesar, menetap di pedesaan dan mayoritas bekerja sebagai buruh dan petani. Dari 135 juta jiwa (57 %) penduduk yang tinggal di desa, 16,7 % masuk dalam katagori sangat miskin. Padahal para petani di negara tetangga kita, Misalnya, Thailand, mempunyai kehidupan ekonomi yang mapan. Tak terdengar dari petani disana seperti keluhan-keluhan dari masyarakat kita bahwa pekerjaan petani itu adalah pekerjaan yang rendah. 

Saat ini ada sekitar 28 juta rumah tangga petani di Indonesia. Dari jumlah itu 6,1 juta yang menetap di Jawa dan 5 juta rumah tangga petani di luar Jawa tidak memiliki lahan. Mereka hanya berprofesi sebagai buruh tani. Sedangkan sisanya hanya memiliki lahan rata-rata 0,36 ha. Padahal  luas kawasan hutan Indonesia sangat memungkinkan menjadikan petaninya makmur dan semuanya memiliki lahan. Tapi apa daya pemerintah sepertinya tidak terlalu memperdulikan nasip para petani kita ini.



Reforma agraria

Dari sinilah sebenarnya akar mula timbulnya konflik agraria di Indonesia dan ini akan terus berlanjut. Jika tidak diatasi konflik agraria ini bisa menjadi masalah yang serius dimasa depan. Oleh karena itu gerakan untuk reforma agraria merupakan kebutuhan yang mendesak.

Sebenarnya dalam UUPA 1960 gagasan reforma agraria ini telah ada tetapi dalam perjalanannya (semasa orde baru) tidak berjalan dengan semestinya. Gagasan reforma agraria seperti yang termaktub dalam UUPA 1960 merupakan tindakan penataan ulang atau restrukturisasi pemilikan, penguasaan dan penggunaan sumber-sumber agraria terutama tanah untuk kepentingan petani, buruh tani dan rakyat kecil atau golongan ekonomi lemah.

Inti dari reforma agraria adalah land reform (restribusi kepemilikan dan penguasaan tanah) dan akses reform (pembentukan program-progam penunjang seperti pengairan, pengkreditan, penyuluhan, pendidikan, pemasaran dan sebagainya). Inilah apa yang akan diperjuangkan dalam reforma agraria. Dengan kata lain dalam reforma agraria itu kepentingan masyarakat kecil harus lebih diutamakan dari pada kepentingan pemilik modal, negara atau yang lainnya. Hal ini sesuai dengan amanat yang terkandung dalam pembukaan UUD 1945 dan pasal 33 UUD 1945 bahwa semua tindakan negara harus berorientasi pada penciptaan keadilan sosial, peningkatan produktifitas dan peningkatan kesejahtraan rakyat umum, terutama masyarakat kelas bawah.

Setahu saya dulu diawal 2007 presiden SBY dalam pidatonya di TVRI (31 Januari 2007) pernah menyebutkan tentang perlu adanya reforma agraria ini. Dalam pidatonya tersebut presiden SBY hanya menekankan dua hal untuk reforma agraria, yaitu, redistribusi lahan secara terbatas dan sertifikasi tanah. Redistribusi lahan ini dicanangkan untuk masyarakat miskin dengan luas lahan kira-kira 8,15 juta hektar. Sedangkan sertifikasi tanah di tujukan untuk tanah-tanah yang dimiliki oleh masyarakat secara turun temurun dan juga tanah-tanah yang diberikan negara tetapi belum sah secara administrasi.

Dengan adanya program ini masyarakat yang punya tanah secara turun temurun atau tanah hasil pembukaan lahan baru akan dipermudah untuk mendapat sertifikat. Saya tidak tahu  pasti sejauh mana program reforma agraria SBY ini sudah dijalankan tetapi yang pasti konflik-konflik akibat sertifikat tanah masih ramai dilapangan, seperti Mesuji dan lainnya dan jumlah masyarakat petani yang tidak memiliki lahan juga tidak kalah banyaknya. Saat ini ada sekitar  6,1 juta petani yang menetap di Jawa dan 5 juta lainnya di luar Jawa yang tidak memiliki lahan sama sekali.

Sebenarnya ada hal lain yang tak kalah penting yang perlu dilaksanakan pemerintah dalam permasalahan agraria ini yaitu pembatasan maksimal luas tanah yang boleh dikuasai oleh individu atau perusahaan. Karena sampai saat ini sebagian besar lahan kita dikuasai oleh individu atau perusahaan-perusahaan besar. Memang dalam UUP 1960 pembatasan maksimal lahan ini sudah diatur dalam Perpu 56 tahun 1960 (56/1960)  tetapi sampai saat ini tidak berjalan.

Program itu terhenti pada 1965 karena prahara politik, dan seiring pergantian rezim, kondisi politik terbalikkan dengan kebijakan "rumah terbuka." Hutan, tambang, dan sumber daya agraria lain dijual demi pertumbuhan ekonomi. Tanah menjadi komoditas.

Pada 1967, Orde Baru mengubah orientasi kebijakan yang berbeda dengan sebelumnya. Pertama, mengejar pertumbuhan tinggi melalui utang luar negeri. Kedua, mendorong investasi asing dengan berbagai kemudahan dan tax holiday. Ketiga, menuju mekanisme pasar, perdagangan, dan rezim devisa bebas.

Ketiga hal tersebut telah mengubah kebijakan agraria yang selalu dikaitkan dengan utang, membuat negeri ini tidak berdaulat secara politik. Perekonomian digiring dalam kapitalisme global sehingga tidak lagi mampu berdiri di atas kaki sendiri, dan pada gilirannya kini kebudayaan agraria (agrarian culture) di negeri agraris terasa hilang kepribadiannya.

Selain itu kita juga membutuhkan peradilan agraria. Dahulu kita memiliki pengadilan kusus terkait agrari (landreform) sebelum dibubarkan pada 1970. Peradilan Agraria adalah langkah yang tepat dan strategis untuk menanggulangi dan memperminim konflik agraria. Tidak saja untuk kepentingan kekinian dalam menyelesaikan konflik (conflict resolution), namun juga memiliki kepentingan untuk mengurangi dan mengantisipasi konflik agraria di masa depan (conflict prevention). Sebagai negara agraris sudah seharusnya kita memiliki paradilan yang khusus menangani masalah agraria ini. Semoga bermamfaat!

Teuku Saifullah, Kader HMI Kom. syariah IAIN Walisongo Semarang, (http://issuu.com/lampungpost/docs/lampungpost_edisi_31_maret_2012)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar