Rabu, 17 Juli 2013

Malu

foto: inilah.com
Banyak yang bisa dipujikan dari negeri dan bangsa Jepang. Ekonominya, teknologinya, tradisinya, ethos kerjanya, kebersihannya, kulinernya, tata busananya, filmnya, berasnya, sastra dan teaternya, solidaritas kelompoknya, penghormatannya kepada senior, dan lain sebagainya. Banyak orang Indonesia yang pernah tinggal di Jepang sering memujikan, yang tak bisa dilupakan dari Jepang adalah budaya "malu"-nya.

Berbeda dengan pemahaman tentang malu di Indonesia, budaya malu di Jepang adalah sebuah pandangan hidup. Falsafah hidup yang tidak hanya tergerak oleh rasa atau emosi, tapi sikap hidup yang mendasar. Budaya malu bagi orang Jepang adalah disiplin mendasar yang menentukan tindak tanduk orang Jepang. Budaya malu adalah kesadaran pada harga diri, tanggung jawab warga Jepang terhadap harkat bangsa.


Dengan memegang teguh budaya malu, orang Jepang menunjukkan bahwa mereka memiliki sikap jelas dan tegas di dalam hidup. Sikap dan pandangan hidup yang kokoh dalam menilai segala sesuatu, untuk mempertahankan karakter, kepribadian, bahkan reputasi orang Jepang. Dengan adanya budaya malu, orang Jepang menegaskan kehadiran di antara bangsa lain di dunia, bahwa mereka bukan hanya memiliki harga diri, tapi tahu harga diri mereka.


Karena terdorong rasa malu, tak sanggup menunjukkan diri sebagai bangsa Jepang yang sejati, mereka tidak segan "bunuh diri", kalau mereka kecewa terhadap dirinya. Di dalam pergaulan biasa, orang Jepang akan berpikir dua kali sebelum menerima hadiah dari orang lain. Apabila mereka merasa ‘tidak layak" menerima sebuah pemberian, dengan segala kerendahan hati mereka akan menolak.


Seorang Jepang tidak akan segan mengembalikan hadiah yang diberikan kepadanya, kalau ia merasa bahwa kelak ia tidak akan mampu membalas budi si pemberi hadiah dengan hadiah yang kualitas atau nilainya sama.


Seorang mahasiswa Indonesia sakit di Kyoto, Jepang. Ia dilarikan ke dokter dan terpaksa membayar sangat mahal karena biaya pengobatan di negeri sakura memang tinggi. Esoknya, teman-teman si mahasiswa berhasil mendaftarkan mahasiswa yang sakit itu ke institusi yang menanggung asuransi bagi mahasiswa asing yang sakit di Jepang. Setelah asuransi itu diperlihatkan kepada dokter, serta merta seluruh biaya sakit yang sudah dibayarkan dikembalikan lagi.


Hal yang sama juga pernah dialami suami-istri orang Indonesia yang mencoba melakukan proses bayi tabung di rumah sakit Universitas Kyoto. Sebagaimana umumnya proses bayi tabung, seluruh biaya harus sudah dibayar lunas ketika tindakan akan dilakukan. Tapi baru dua puluh persen berjalan, istri yang hendak melakukan bayi tabung mengalami gangguan pada hormonnya. Proses bayi tabung tidak bisa dilanjutkan. Galibnya, uang yang sudah dibayarkan, hangus. Tapi dokter yang memimpin proses bayi tabung itu mengembalikan seluruh uang yang sudah dibayarkan, sambil minta maaf dan nampak malu karena proses itu terpaksa dibatalkan.


Budaya malu orang Jepang bukan hanya sekadar "label kepribadian", yakni keunikan yang ditempelkan supaya terasa keren. Bukan juga slogan yang digembar-gemborkan untuk "menyombongkan" identitas. Tapi sudah merupakan praktek wajar sehari-hari, yang mungkin sulit dipahami oleh orang asing yang biasanya mengenal budaya malu yang bisa diartikan sebagai "malu-malu kucing" dan "tidak tahu malu".


Budaya malu orang Jepang adalah sikap hidup yang datang dari jiwa yang teguh, tandas, berani mengambil resiko, disiplin di dalam mengisi kehidupan. Budaya inilah yang tak sempat ditinggalkan "saudara tua" kita itu, walau mereka sempat mengacak-acak Indonesia selama dua tahun.


Bicara tentang budaya "malu" di Indonesia lain lagi ceritanya. Kita mengenal apa yang disebut malu-malu kucing. Malu tapi mau. Sebenarnya sangat mau tapi pura-pura tidak doyan, seakan-akan tidak butuh, padahal sebenarnya bersedia mengorbankan apa saja asal mendapatkan yang dimaui. Malu-malu kucing ini membuat banyak kita jadi suka berpura-pura. Akibatnya pergaulan penuh dengan kemunafikan, kebenaran selalu merupakan teka-teki yang susah payah diungkap sebelum muncul apa adanya.


Malu-malu kucing sering terasa sebagai penipuan atau penyamaran kerakusan yang berakhir dengan menyebalkan. Tapi sikap malu-malu kucing kadang dengan sengaja dipilih karena menjadikan yang melakukan "seksi" atau "genit".


Kita juga mengenal apa yang dimaksud dengan tidak tahu malu atau tidak bermalu. Ini juga sikap malu yang sangat menjengkelkan. Bagaimana tidak. Orang yang tidak tahu malu adalah orang yang sarafnya sudah putus. Ia tidak peduli lagi perasaan orang lain, bahkan mungkin juga perasaannya sendiri. Ia dapat berbuat semena-mena, sesukanya, tanpa takut sedikit pun sanksi orang lain, hukum, tata krama, adat istiadat, termasuk hati kecilnya sendiri.


Orang yang tidak bermalu akan jadi "manusia binatang". Ia dapat mendobrak, memberontak, bahkan menginjak-injak segala sesuatu tanpa merasakan itu sebagai sesuatu yang salah. Orang yang tidak bermalu adalah manusia asosial yang membuat ketertiban, kenyamanan kehidupan terganggu. Perilakunya ekstrem, cenderung merongrong atau mencederai orang lain. Ia jadi tokoh berbahaya, yang akan mengacaukan dan merusakkan segala tatanan yang hendak dibangun masyarakat beradab.


Jenis orang tak bermalu ini ada dua. Yang tidak bermalu karena tidak tahu, terapinya adalah pendidikan dan pergaulan yang sehat. Kedua, orang tak bermalu yang melakukan tindakannya secara sengaja. Ini jenis yang sampai harga matinya tidak bisa diapa-apakan lagi.


Akhirnya, kita sampai pada malu yang sebenarnya adalah pemalu. Keadaan ini terjadi pada orang yang rendah diri, kurang pede, ragu akan kemampuan diri, tidak siap sebagai pribadi di antara orang lain, atau selalu tertindas secara psikologis dan tak pernah nyaman di antara orang banyak.


Kini, lebih dari enam puluh tahun merdeka terkadang kita masih jadi pemalu, malu-malu kucing, atau bahkan tidak tahu malu. Sudah waktunya menukar semua itu dengan "budaya malu" yang kita ketahui dimiliki bangsa Jepang, namun baru sebatas kita kagumi. Kita tidak perlu malu untuk belajar ‘budaya malu‘ untuk memperkaya kebebasan dan kemerdekaan kita.
Putu Wijaya, http://www.jurnas.com/halaman/14/2013-07-17/256503

Tidak ada komentar:

Posting Komentar