Semua orang pasti ingin sukses; punya harta
melimpah, rumah mewah, istri cantik, anak yang cerdas dan puncak dari segala
kesuksesan adalah pangkat atau jabatan yang mentereng. Untuk mendapatkan
kesuksesan itu tidak sedikit orang yang menggunakan cara-cara kotor; menyogok
ratusan juta rupiah demi menduduki jabatan tertentu atau mendapatkan uang
dengan jalan menipu orang lain. Semua itu mereka lakukan karena anggapan bahwa
kesuksesan itu mampu membuat mereka untuk hidup bahagia di dunia ini.
Padahal jika ditelusuri lebih jauh, kebahagian hidup di dunia ini bukanlah ditentukan oleh kesuksesan dalam arti materil maupun jabatan, tetapi kebahagian hidup itu akan diperoleh ketika hati manusia merasa cukup dan bersyukur terhadap apa yang diberikan Tuhan kepadanya. Karena tampa merasa cukup dan bersyukur terhadap pemberian Tuhan, timbullah sifat iri dan dengki, misalnya, ketika melihat orang lain lebih sukses dari dirinya atau melihat istri orang lain lebih cantik dari istrinya. Akhirnya jadilah manusia itu makluk yang linlung, tertekan dan menderita oleh sebab ulahnya sendiri.
Kisah nyata salah seorang pangeran pada Dinasti Mamalik yang di hadirkan dalam buku ini merupakan refleksi dari apa yang diutarakan di atas yaitu untuk menemukan makna kebahagiaan hakiki dalam hidup di dunia ini dengan jalan merasa cukup terhadap apa yang dimiliki dan bersyukur terhadap anugrah sang pencipta, Tuhan. Kita bisa belajar dari kisah Ibrahim, (tokoh utama dalam novel ini), dimana pada mulanya dia adalah seorang pengeran dinasti Mamalik yang berkuasa atas Kerajaan Tujuh Kota. Semua kehendak duniawinya terpenuhi. Ibrahim hidup dalam kemewahan, harta melimpah, dikelilingi banyak perempuan, dan memiliki jabatan dan kekuasaan.
Semua orang yang melihatnya pasti akan berpikir dialah orang yang paling bahagia di dunia ini. Tapi ternyata kenyataannya tidaklah demikian. Ibrahim malah merasa hidup ini tidak adil baginya, ia tidak merasakan kebahagiaan sedikitpun, hatinya selalu galau dan gelesah. Hal ini karena Ibrahim terus merasa tidak cukup terhadap apa yang telah dimilikinya dan ia sendiri tidak bersyukur pada Tuhan. (Hal. 10)
Sampai pada suatu waktu bertemulah ia dengan seorang darwis (seorang sufi) miskin yang datang keistananya untuk mencari anjingnya yang lari ke dalam wilayah kerajaan. Ibrahim menghina darwis karena kemiskinannya, tetapi kemudian ia berbalik arah takjub dan terheran-heran dengan jawaban darwis yang sedang dihina itu. Darwis mengungkapkan apa yang dirasakan pengeran Ibrahim; tentang mimpi Ibrahim yang terjadi berturut-turut, kegelisahan dan ketidak bahagiaanya hidup di dunia ini.
“Nampaknya tuan ingin menelanjangiku
dan menjadikanku bahan tertawaan. Tidak apa-apa. Tuan-tuan telah mulai berbuat
kejahatan dan hakku untuk membalas. Kita mulai dari pengeran. Rutinitas dan
rasa kesal telah menghukum anda. Rasa kesal itu menyelebunginya seperti tirai,
dan membuat ia kasak-kusuk seperti biawak. Ia melekat pada diri pangeran bagai
lumpur, meliputinya bagai udara dan merasuk dengan cepat kedalam darah, nafas
dan otaknya. Setiap malam pengeran yang gelisah ini selalu mengalami mimpi yang
sama, yang selalu datang dalam tidurnya, mimpi tentang sesuatu, bagaimana
pendapatmu tuan?.” (hal. 30)
Pengeran takjub dan heran bagaimana darwis ini tahu apa yang dialaminya, padahal tak seorang pun pernah ia ceritakan. Kemudian darwis ini berlalu pergi dan pangeran mengikutinya dari belakang tampa membawa apapun. Akhirnya, mulailah pangeran menempuh hidup sebagai seorang darwis yang miskin, berkelana kemana kaki melangkah. Ia tinggalkan harta dan kerajaannya. Memusatkan dirinya untuk membantu orang lain dan beribadat kepada Tuhan... (Hal. 149). Walaupun hidup Ibrahim tidak lagi dalam buaian harta dan kekuasaan, tetapi ia telah menemukan hakikat kebahagian dengan menempuh jalan kehidupan seperti para darwis (sufi).
Memang, kisah dalam novel ini berseting tempat dan waktu beberapa abad yang lalu, tetapi kandungan isi dan nilai yang terkandung didalamnya sangat sesuai dengan realitas yang dialami oleh banyak orang saat ini. Dimana banyak orang tidak merasakan kehidupan bahagia, padahal harta, jabatan dan kekuasaan telah dimilikinnya. Disisi lain ada juga orang yang tak memiliki kecukupan materi dan yang lebih parahnya tidak juga bahagia. Semoga buku ini bisa menjadi bahan pencerah dan renungan kita bersama.
Teuku Saifullah, Kader HMI Kom. Syariah IAIN
Walisongo Semarang
Judul buku : IBRAHIM BIN ADHAM; Sang Pengeran
Pengembara Tampa Alas Kaki
Penulis : Ahmad Bahjat
Penerbit : Penerbit Zaman
Tahun :
cetakan I, 2012
Tebal : 164 halaman
ISBN : 978-979-024-318-7
Harga : Rp. 24.000
Tidak ada komentar:
Posting Komentar