Kamis, 16 Mei 2013

HUKUM PERDATA ISLAM INDONESIA

Latar Belakang & Ruang Lingkup HPII sebagai suatu rumusan yang bersumber dari Islam sebagai agama yang mengandung nilai universal:
1.      Ibadah
2.      Hukum
3.      Ekonomi
4.      Ekologi
5.      Pendidikan
6.      Sosial
Fase pelembagaan Hukum Islam:
Hukum Islam (HI) lahir secara evolutif dalam 3 (tiga) fase:
1.      Tahkim
2.      Ahlul halli wal ‘Aqdi
3.      Peradilan (delegation of authority)
Sejarah HI di Indonesia:
·         HI di Indonesia diterima oleh masyarakat yang dapat dilihat mulai masa-masa kerajaan Islam. HI diberlakukan sebagai hukum negara. Aceh, Mataram, Banten, Wajo.
·         Akulturasi Adat-Islam “Adat Bersendi Syara’, Syara’ bersendi Kitabullah”.
·         Eksistensi HI diakui kolonial.
Teori pemberlakuan HI:
·         Receptio in Complexu (Van den Berg) “HI diterima (diresepsi) secara menyeluruh oleh umat Islam”.
·         Receptio Receptie  (C. Snouck Hurgronje) “HI berlaku apabila telah diresepsi oleh Hukum Adat”. Berimplikasi dikeluarkan Stbl 1937 Nomor 116. Terjadi reduksi materi HI.
·         Receptio a Contrario “Hukum Adat yang tidak sejalan dengan HI harus ditolak”.
HI dan ketentuan hukumnya:
·         Ada 4 produk pemikiran HI: fiqh, fatwa, keputusan pengadilan, & UU.
·         Sebelum Kompilasi Hukum Islam (KHI): doktrin fiqh yang mengakibatkan disparitas putusan pengadilan.
·         Hukum modern: unifikasi dan kodifikasi.
Kompilasi Hukum Islam (KHI):
§  Ditetapkan berdasarkan Inpres Nomor 1/1991 (yuridis-politis).
§  KHI = Hukum Positif Islam
§  Fungsi KHI:
1.  langkah awal kodifikasi & unifikasi hukum
     nasional
2.  pegangan praktisi PA
3.  pegangan bagi masyarakat muslim
§  KHI mengikat hakim, dengan tetap berpeluang melakukan ijtihad.
Perturan lain:
§  UU Nomor 18/2003 tentang Profesi Advokat
§  UU Nomor 41/2004 tentang Wakaf
§  UU Nomor 3/2006 tentang Peradilan Agama
§  RUU Hukum Terapan Peradilan Agama Bidang Perkawinan

PEMINANGAN
Ø  Fiqh Sunnah: “Peminangan merupakan langkah pendahuluan menuju ke arah perjodohan antara seorang pria dan wanita”.
Ø  KHI Pasal 1 a: “Peminangan ialah kegiatan upaya ke arah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria dan seorang wanita dengan cara-cara yang baik (ma’rūf)”.
Tujuan peminangan:
·         Islam  mensyari’atkan peminangan (khitbah) agar kedua calon mempelai dapat saling mengenal dan memahami kepribadian masing-masing.
·         Dengan memahami calon pasangannya diharapkan ia dapat mendapatkan jodoh sesuai dengan kriteria yang ditegaskan oleh Hadits.
Hukum peminangan:
·         Jumhur (Peminangan tidak wajib, tapi sudah menjadi tradisi yang berlaku di masyarakat).
·         Dawud al-Dhahiri (Meminang hukumnya wajib).
Teknik peminangan:
·         Peminangan dapat langsung dilakukan oleh orang yang berkehendak mencari pasangan jodoh, tapi dapat pula dilakukan oleh perantara yang dapat dipercaya (pasal 11 KHI).
·         Peminangan dapat dilakukan secara terang-terangan (sarīh) atau dengan sindiran (kināyah) (al-Baqarah 235).
Syarat peminangan:
·         Peminangan dapat dilakukan thd seorang wanita yang masih perawan atau janda yang telah habis masa iddah (pasal 12 KHI).
·         Pasal 12 (2), (3), dan KHI
(2)        haram meminang wanita (sarīh) dlm masa ‘iddah 
            raj’iyyah
(3)        dilarang meminang wanita yang sedang
            dalam pinangan pria lain
·         -           wanita iddah wafat tdk boleh sarīh, boleh kināyah
-           wanita iddah bain sughra tdk boleh
-           wanita iddah bain kubra hanya boleh suami stl isteri 
            menikah dan bercerai dengan pria lain
Akibat hukum peminangan:
n  Peminangan belum menimbulkan akibat hukum (pasal 13 [1] KHI).
n  Kebebasan memutuskan peminangan dilakukan dengan tata cara yang baik (pasal 13 [2] KHI). Analogi dengan hak khiyār.
n  Akibat hukum peminangan hanya terkait dengan harta pemberian apabila terjadi pemutusan hubungan peminangan.

Konsekwensi putusnya peminangan terhadap harta pemberian:
n  Imam Syafi’i (dikembalikan, apabila barang pemberian sudah tidak ada tidak perlu diganti)
n  Imam Hanafi (dikembalikan, apabila barang pemberian sudah tidak ada harus diganti)
n  Imam Maliki (dilihat siapa yang memutuskan, yang memutus wanita harus dikembalikan, yang memutus pria tidak dikembalikan)

PRINSIP-PRINSIP PERKAWINAN
Pasal 1 UUP Nomor 1 Tahun 1974:
     Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami isteri untuk membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan YME.
Karena pentingnya perkawinan, UUP dan KHI menetapkan prinsip-prinsip perkawinan:
1.      Tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.
            Untuk itu suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan material.
2.      Suatu perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Di samping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat.
3.      3. UUP menganut asas monogami. Tetapi apabila dikehendaki, karena hukum & agama ybs mengizinkan, seorang suami dapat beristeri lebih dari satu.
4.      UUP menganut prinsip calon suami isteri harus masak jiwa raganya untuk melangsungkan perkawinan. Agar terwujud tujuan perkawinan, terhindar dari perceraian dan dapat melakukan proses reproduksi yang sehat.
5.      Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, maka UUP menganut prinsip untuk mempersulit terjadinya perceraian.
6.      Hak dan kedudukan suami isteri seimbang. Baik dalam kehidupan rumah tangga maupun masyarakat.
Reposisi peran isteri bukan hanya dalam sektor domestik, tapi juga sektor publik.
RUKUN DAN SYARAT NIKAH
n  Fiqh mengenal dua istilah yang berbeda kendati hukumnya sama, yaitu nikah al-fasid dan nikah al-batil. Nikah fasid: nikah yang tidak memenuhi salah satu syarat. Nikah batil: nikah yang tidak terpenuhi rukun-rukunnya.
n  Hukum nikah fasid dan batil: tidak sah.

A.     Mempelai, syaratnya:
1.      Memenuhi standar usia perkawinan; 19 th bagi laki-laki dan 16 th bagi perempuan. Kurang dari standar itu harus mendapat dispensasi dari pengadilan.
SLIDE RUKUN DAN SYARAT
Tingkat kecakapan melakukan perkawinan:
-          Usia < 16/19 tahun

-           
2.      Persetujuan; bisa secara lisan maupun tulisan. Menegaskan tidak diperbolehkannya nikah paksa (ijbar nikah)
3.      Tidak ada halangan pernikahan. Seperti yang ditentukan dalam ps. 40-44 KHI.
Larangan perkawinan Pasal 39 KHI:
Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dg seorang wanita disebabkan:
1. Karena pertalian nasab
    a. Dg seorang wanita yg melahirkan atau
        yg menurunkannya atau keturunannya,
    b. Dg seorang wanita keturunan ayah atau ibu,
    c. Dg seorang wanita saudara yg melahirkan.
2. Karena pertalian kerabat semenda:
  1. Dg seorang wanita yg melahirkan isteri atau bekas isteri, (ibu mertua)
  2. Dg seorang wanita bekas isteri orang menurunkannya, (ibu tiri yg dicerai)
  3. Dg seorang wanita keturunan isteri atau bekas isteri,kecuali putusnya perkawinan dg bekas isteri qabla al-dukhul, (AK/AT)
  4. Dg seorang wanita bekas isteri keturunannya. (menantu)
3. Karena pertalian sesusuan:
  1. Dg wanita yg menyusuinya dst menurut garis lurus ke atas,
  2. Dg seorang wanita sesusuan dst menurut garis lurus ke bawah,
  3. Dg seorang wanita sdr sesusuan, & kemenakan sesusuan ke bawah,
  4. Dg seorang wanita bibi sesusuan dan nenek bibi sesusuan ke atas,
  5. Dg anak yang disusui oleh isterinya dan keturunannya.

Larangan sementara
-          Pasal 40 KHI:
Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dg seorang wanita krn keadaan tertentu:
a. Krn wanita yg bersangkutan msh terikat satu perkwnn
    dg pria lain.
b. Seorang wanita yg msh berada dlm masa iddah dg pria lain.
c. Seorang wanita yg tdk beragama Islam.

-          Pasal 41 KHI:
menjelaskan larangan kawin karena pertalian nasab dg wanita yg telah dikawini:
(1) Seorg pria dilarang memadu isterinya dg seorang wanita yg
     mempunyai hub pertalian nasab atau sesusuan dg isterinya:
     a. saudara kandung, seayah atau seibu serta keturunannya
     b. wanita dg bibinya atau kemenakannya
(2) Larangan tersebut pada ayat (1) tetap berlaku mskp isteri-
     isterinya telah ditalak raj’i, tetapi masih dalam masa iddah.
-          Pasal 42 KHI:
Seorang pria dilarang melangsungkan perkawinan dg seorang wanita apabila pria tsb sdg mempunyai 4 orang isteri yg keempat-empatnya msh terikat tali perkawinan atau masih dlm iddah talak raj’i ataupun salah seorang diantara mereka masih terikat tali perkawinan sdg yg lainnya dlm masa iddah talak raj’i.
-          Pasal 43 KHI:
(1) Dilarang melangsungkan perkawinan atr seorang pria:
     a. Dg seorg wanita bekas isterinya yg ditalak 3 kali
     b. Dg seorg wanita bekas isterinya yg dili’an
(2) Larangan tsb pd ayat (1) huruf a gugur kalau bekas
     isteri tadi tlh kawin dg pria lain, kmdn pria tsb putus
     ba’da dukhul & tlh habis masa iddahnya.
-          Pasal 44 KHI:
“Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam”

B.     Wali nikah, syarat:
§  Laki-laki, muslim, baligh.
§  Prinsip: mendahulukan urutan wali yang lebih dekat;
a.       wali nasab & wali hakim
b.      wali nasab terdiri dari wali aqrab & wali ab’ad.
- Urutan wali:
§  Kerabat laki-laki garis lurus ke atas; ayah, kakek, dst.
§  Kerabat saudara laki-laki; sekandung/sebapak & keturunan laki-laki.
§  Kerabat paman; saudara laki-laki sekandung/sebapak dengan ayah & keturunan laki-laki.
§  Saudara laki-laki sekandung/sebapak dengan kakek.

C.     Saksi nikah, syarat:
§  Terdiri dari dua orang saksi.
§  Muslim, adil, dan baligh.
§  Tidak terganggu ingatan dan bisu tuli
§  Hadir dan menyaksikan langsung akad nikah, serta menandatangani Akta Nikah pada waktu dan di tempat akad nikah dilangsungkan. (ps. 24-26 KHI)

D.    Akad, syarat:
a.       Ada pernyataan ijab dari wali.
b.      Ada pernyataan qabul dari mempelai laki-laki.
c.       Menggunakan kata nikah, tazwij dan yang sepadan dengannya.
d.      Antara ijab dan qabul bersambung (ps. 27 KHI)
e.       Ijab dan qabul jelas maksudnya.
f.       Orang yang terkait ijab qabul tidak sedang dalam ihram haji dan umrah.
g.      Dihadiri minimal 4 orang
- Wakalah dala ijab qabul:
§  Wakalah pada saat ijab sudah lazim, wali menyerahkan kepada penghulu (ps. 28 KHI).
§  Wakalah juga bisa diakukan pada saat qabul, dengan syarat mempelai pria memberi kuasa yang tegas dan tertulis bahwa penerimaan wakil atas akad nikah itu adalah untuk mempelai pria.
§  Dalam hal calon mempelai wanita atau wali keberatan calon mempelai pria diwakili, maka akad nikah tidak boleh dilakukan (ps. 29 KHI)

Alasan, Syarat dan Prosedur POLIGAMI
-          Dasar Hukum
UUP 1/1974
§  Pasal 3 (Asas perkawinan adalah monogami. Kecuali hukum agama membolehkan dan dikehendaki oleh yang bersangkutan).
§  Pasal 4 (Mengatur alasan poligami).
§  Pasal 5 (Mengatur syarat poligami).

-          Alasan poligami
§  Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai seorang isteri.
§  Isteri sakit atau cacat badan yang tidak dapat disembuhkan.
§  Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

-          Syarat poligami
§  Ada persetujuan dari isteri
Persetujuan isteri lisan/tertulis. Persetujuan tertulis dipertegas secara lisan (KHI ps 58).
Persetujuan tdk diperlukan apbl isteri tdk mungkin dimintai persetujuan, tdk dpt mjd pihak dlm perjanjian, & tdk ada kabar sekurang-kurangnya 2 tahun (UUP ps 5 [2]).
§  Suami mampu menafkahi isteri-isteri dan anak-anaknya.
§  Suami mampu berlaku adil kepada isteri-isterinya.

-          Prosedur poligami
§  Kepada pengadilan suami mengajukan permohonan ijin poligami secara tertulis.
§  Pengadilan akan melakukan pemeriksaan terhadap:
1. Ada/tidaknya alasan poligami
2. Ada/tidaknya syarat poligami
3. Ada/tidaknya kemampuan suami
§  Atas keputusan pengadilan, suami atau isteri berhak melakukan upaya hukum.
SLIDE POLIGAMI




PUTUSNYA PERKAWINAN
UUP pasal 38, perkawinan dapat putus karena:
  1.  Kematian
  2.  Perceraian
  3. Keputusan Pengadilan

A.    Kematian
-          Implikasi bagi Suami:
  1. Gono Gini: pasangan yang hidup lebih lama mendapat ½
  2. Waris: ½ tidak ada anak, ¼ bila ada anak
  3. Hadlanah: Memenuhi kebutuhan hingga anak dewasa

-          Implikasi kematian bagi istri
1.      Menjalani masa ‘iddah:
a.  4 bulan 10 hari, bagi isteri ba’da dan  qabla dukhul (KHI)
b.  sampai melahirkan atau waktu terlama bagi isteri hamil
2.      Gono Gini
3.      Waris
4.      Hadlanah

B.     Perceraian
Prinsipnya UUP mempersulit terjadinya perceraian (ps 39 ayat 1-2):
  • Perceraian hny dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah Pengadilan yg bersangkutan berusaha & tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak;
  • Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami dan isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri;

-          Alasan-alasan perceraian (ps 116 KHI)
a.       Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dlsb yang sukar disembuhkan;
b.      Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yg sah atau krn hal lain di luar kemampuan;
c.       Salah satu pihak mendapat hukuman penjara lima tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
d.      Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain;
e.       Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dg akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami isteri;
f.       Antara suami & isteri terus menerus tjd perselisihan & pertengkaran & tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga;
g.      Suami melanggar taklik talak;
h.      Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga.

CERAI TALAK
Tanggung jawab suami apabila menceraikan isteri:
  1. Membayar mahar yg masih terhutang. Mahar diberikan seluruhnya bagi isteri ba’da dukhul, dan separoh bagi isteri yg qabla dukhul.
  2. Memberi mut’ah.
  3. Memberi nafkah selama masa iddah.
  4. Membayar nafkah madliyah.
  5. Menanggung biaya hadlanah.

CERAI GUGAT
         Cerai Gugat identik dengan khulu’ isteri harus membayar iwadl kepada suami
         Pada Cerai Gugat suami hanya menanggung biaya hadlanah anak.

BENTUK-BENTUK TALAK
1.         Talak Raj’i
            Talak I dan II dimana dapat kembali dg rujuk
2.         Talak Ba’in Sughra
            (a) khuluk, (b) put pengadilan, (c) qabla dukhul.
            Tidak bisa rujuk, hrs dengan akad baru
  1. Talak Ba’in Kubra
            Talak ketiga. Tidak boleh menikah kecuali sesudah dinikahi muhallil.

RUJUK
A.    Definisi
§  Secara terminologi rujuk berarti kembalinya suami pada hubungan nikah dengan isteri yang telah dicerai raj’I, dan dilaksanakan selama isteri masih dlam masa iddah.
§  Rujuk adalah perbuatan terpuji untuk membangun kembali rumah tangga, setelah melewati masa krisis.
§  Al-Baqarah ayat 228 “Dan suaminya berhak merujukinya dalam masa iddah, jika mereka (suami) itu mengehndaki islah”.
KHI pasal 163-166:
(1)        Seorang suami dapat merujuk isterinya yang dalam masa iddah;
(2)        Rujuk dapat dilakukan dalam hal-hal:
a. Putusnya perkawinan karena talak, kecuali talak yang telah jatuh tiga kali atau talak yang dijatuhkan qabla al-dukhul.
b. putusnya perkawinan berdasar putusan pengadilan dengan alasan atau alasan-alasan selain zina dan khulu’.

§  Rujuk tidak boleh dilakukan secara sepihak. Isteri harus menyetujui kehendak rujuk dari suaminya. Rujuk tanpa persetujuan isteri dapat dinyatakan tidak sah dengan putusan PA (ps 165 KHI)
§  Rujuk harus dicatat di adapan Pegawai Pencatat Nikah (PPN).
Tata Cara Rujuk (pasal 167 KHI):
(1)        Suami dan isteri datang bersama ke PPN dengan membawa penetapan terjadinya talak dan keterangan lain yang diperlukan;
(2)        Rujuk dilakukan dengan persetujuan isteri;
(3)        PPN memeriksa apakah rujuk yang akan dilakukan memenuhi syarat: dalam talak raj’I, dan wanita itu isterinya;
(4)        Setelah suami mengucapkan rujuk, pihak-pihak beserta saksi menanda-tangani Buku Pendaftaran rujuk;
(5)        PPN memberikan nasehat tentang kewajiban yang berkaitan dengan rujuk.



PENDAHULUAN
Pengertian, hubungan kewarisan, kewajiban ahli waris
A.    Definisi
Perpindahan kepemilikan kepada orang tertentu, dengan bagian tertentu, karena matinya seseorang.
Aturan kewarisan bertujuan mengatasi kecenderungan materialisme manusia.
B.     Kewajiban ahli waris sebelum membagi waris
1.      Merawat janazah (Dilakukan mulai perawatan hingga meninggalnya pewaris)
2.      Membayar hutang
§  hutang menjadi tanggung jawab pribadi
§  hutang bisa dialihkan kepada AW
§  waris bisa berupa pasiva dari pewaris
3.      Menunaikan wasiat (wasiat kepada AW dengan Pengecualian wasiat maksimal ⅓)
4.      Membagi gono-gini
§  membagi harta gono gini kepada pasangan almarhum
§  bagian gono-gini sebesar ½
5.      Membagi waris
ASAS-ASAS KEWARISAN
Ijbari, bilateral, individual, keadilan berimbang, dan semata akibat kematian.
-          ASAS-ASAS KEWARISAN KHI
I.                   Asas Ijbari
II.                Asas Bilateral
III.             Asas Individual
IV.             Asas Keadilan Berimbang
V.                Asas Kewarisan Semata akibat Kematian

A.    Asas Ijbari
Peralihan harta dari seseorang yang telah mati kepada AW berlaku dengan sendirinya menurut ketentuan Allah. Bukan ditentukan oleh kehendak pewaris / AW.
1.      Peralihan kepemilikan
-          Pewaris tidak dapat menolak peralihan harta waris (HW), karena sudah diatur oleh hukum waris. Pewaris berhak maksimal 1/3 untuk wasiat.
-          KHI ps. 187 (2) yang ditunjukkan dengan kata “harus” yang maknanya wajib.
-          Dalam kewarisan Islam, ahli waris (AW) “terpaksa” menerima. Ini berbeda dengan ps. 1056-1062 BW yang memperbolehkan AW untuk menerima atau menolak.
2.      Penetapan ahli waris
-          KHI pasal 174
Pihak yang berhak sebagai ahli waris dibatasi pada dua hubungan, yaitu nasabiyah dan sababiyah. Di luar keduanya tidak boleh.
3.      Penetapan bagian HW
-          KHI ps. 176-182.
Bagian HW sudah ditentukan menurut kedudukan masing2  AW, seperti ¼, ½, ¾, ⅓, ⅔, ⅛ dsb.

B.     Asas Bilateral
-          Seseorang menerima hak waris dari kedua-belah pihak garis kerabat
-          Sesuai dg an-Nisa’ 7, 11-12 dan 176. Juga dengan customary law Jawa “sepikul segendongan”.
-          Asas ini menengahi dua kutub  kewarisan yang ekstrim; matrilineal dan patrilineal.
-          Kewarisan matrilineal adalah sistem kewarisan dari pihak ibu, seperti di Minangkabau.
-          Kewarisan patrilineal adalah sistem kewarisan dari pihak bapak, seperti di Batak.
-          Sistem matrilineal di Minangkabau diterapkan pada Harta Pusaka Tinggi. Sedangkan Harta Pusaka Rendah dibagi menurut hukum waris Islam.
-          Pepatah-silogisme: “Adat bersendi Syara’, Syara’ bersendi Kitabullah, Adat bersendi Kitabullah”.

C.     Asas Individual
-          HW dapat dibagi kepada AW untuk dimiliki secara perorangan (KHI ps. 176-180);
-          Implikasi dr kepemillikan itu, AW berhak mentasharrufkan utk keperluan apapun;
-          Hak AW:
1.      Menerima HW sekalipun masih kecil.
2.      Pengelolaan HW anak yatim diserahkan kepada wali yang ditunjuk  keluarga.
-          Wali pengelola harus berhati-hati dan memisahkan hartanya dengan HW anak yatim.
è Perluasan asas individual
Seorang mendapat bagian HW karena kedudukan dirinya memiliki hubungan kewarisan dg pewaris.

D.    Asas Keadilan Berimbang
-          Dalam pembagian HW harus terdapat keseimbangan antara hak dan kewajiban, sehingga HW yang diterima proporsional (UUP Nomor 1/1974  pasal 34).
-          Asas yang krusial, karena dinilai mjd penyebab perlakuan tidak adil pembagian waris antara laki-laki dan wanita.

E.     Asas Kewarisan Semata Akibat Kematian
-          Perpindahan HW kepada AW berlaku setelah matinya pewaris.
-          Asas ini berkaitan dengan Asas Ijbari.
-          Dalam KHI tidak mutlak, karena ada pengakuan terhadap hibah yang dapat diperhitungkan sebagai HW (Waris-Hibah-Wasiat)

ALTERNATIF PEMBAGIAN WARIS DALAM KHI
1.      Perdamaian;
2.      Penggantian kedudukan AW (plaatsvervulling)
3.      Kewarisan Kolektif
4.      Anak dan orang tua angkat mendapat Wasiat Wajibah;
5.      Hibah diperhitungkan sebagai waris.

A.    Perdamaian
Pasal 183 KHI (Para AW dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam Pembagian harta warisan, setelah Masing-masing menyadari bagiannya).
a.       Bentuk Perdamaian
1.      Memberikan bagian waris sesuai kedudukan dan kebutuhan, meskipun ukurannya beda dg haknya.
Contoh:
IBU: rumah & seluruh perabot
ANAK SULUNG : sawah & kebun,
ANAK BUNGSU : kios & asetnya.
2.      Membagi berdasarkan persetujuan bersama. Kemungkinan bagiannya berbeda dengan formulasi 2:1. Misal, karena mempertimbangkan faktor ekonomi yang berbeda (identik dengan teori batas Syahrur)
b.      Syarat Perdamaian
1.      Masing-masing AW harus menyadari bagiannya (Agar tidak menyesal, setelah mengetahui bagiannya berubah).
2.      AW harus telah dewasa (Sbg syarat sah tindakan hukum. AW blm dewasa diberi sesuai haknya).
3.      Tidak boleh ada paksaan (Damai = setuju, AW yg tidak sepakat diberi sesuai haknya).
4.      Tidak boleh disemangati untuk menentang nash (Tidak perlu mendiskriditkan nash).

B.     Penggantian kedudukan AW (plaatsvervulling) secara modifikasi.
-          Alternatif ini bertujuan untuk mengatasi ketentuan fiqh yang dinilai “tidak adil“.
-          Pasal 185 KHI:
(1)   AW meninggal lebih dahulu daripada pewaris, mk kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya kecuali mereka yg tersebut dlm Pasal 173 (halangan menerima waris).
(2)   Bagian bagi AW pengganti tdk boleh melebihi dari bagian AW yang sederajat dengan yg diganti.
SLIDE 7 - ALTERNATIF PLATSVERVULLLING



C.    Kewarisan Kolektif
Dasar KHI pasal 189:
(1)   Bila harta warisan yg akan dibagi berupa lahan pertanian yg luasnya kurang dari 2 hektar, supaya dipertahankan kesatuannya sebagaimana semula, & dimanfaatkan untuk kepentingan bersama para AW yg bersangkutan.
(2)   Bila ketentuan tsb pada ayat (1) Pasal ini tidak dimungkinkan karena di antara para AW yg bersangkutan ada yg memerlukan uang, maka lahan tersebut dapat dimiliki oleh seseorang atau lebih AW dgn cara membayar harganya kepada AW yg berhak sesuai dengan bagiannya masing-masing.
Tidak dikenal dalam faraidh, diadopsi dari Hukum Adat, seperti di Ambon, Minangkabau, dan Minahasa. Karena:
1.      Untuk mempertahankan kesatuan geneologis.
2.      Harta pusaka biasanya diserahkan kpd anak tertua yg bertanggung-jawab kpd keluarga.
3.      Untuk pemenuhan kebutuhan keluarga.
KHI tidak mengadopsi secara utuh, melainkan melakukan modifikasi. Tujuannya untuk meningkatkan produktifitas fungsi tanah pertanian.
Apabila ada AW yang membutuhkan uang, maka NYUSUKI.
Solusi apabila ada AW yang memerlukan uang (KHI ps 189 ayat 2).

D.    Anak dan orang tua angkat mendapat Wasiat Wajibah
§  Riwayat Zaid bin Haritsah menunjukkan sikap Islam terhadap anak angkat.
§  Dalam faraidh sdh ditentukan sebab kewarisan.
§  Sebab kewarisan
1.      Nasabiah (disebabkan hubungan darah)
2.      Sababiyyah (disebabkan oleh ikatan suami/istri)
§  WASIAT WAJIBAH: Seseorang dianggap menerima wasiat, meskipun secara in concreto tidak pernah ada wasiat.
§  Tidak perlu ada akta wasiat seperti wasiat pada umumnya.
§  Ada hubungan special antara orang tua dan anak angkat.
§  Wasiat wajibah merupakan jalan tengah. Pada satu sisi tidak boleh memberi waris, tetapi menghalangi pemberian antara anak dan orang tua angkat juga tidak manusiawi.
§  Illat (ratio legis) pemberian wasiat wajibah adalah pengangkatan anak.
§  Bila ‘illat ada maka ada hokum ( ﻳﺪﻮرﻣﻊ ﻋﻠﺘﻪ  اﻟﺤﻜﻢ)
§  Abd latif: kalau sdh diatur positif bgman ? Dlm sikon apa k kol dilakukan.
§  April: adat agar terjaga dipertahankan. Kalau butuh semua bagmn ? Pembagian manfaat.

E.     Hibah dari Orang Tua Dapat Diperhitungkan Sebagai Warisan
§  Dasar hukum
1.      Pasal 211 Kompilasi Hukum Islam: “Hibah dari orang tua dapat diperhitungkan sebagai warisan”.
2.      Hukum Adat.
§  Filosofi
a.       Keharusan orang tua berlaku adil terhadap anak-anaknya
b.      Karena ada pemberian yang sering tidak berimbang kepada anak-anak
c.       Terkait dalam hal ini, boleh bagi orang tua mencabut hibah dari anak, karena ada ketidak-adilan.
d.      Jangan dikelirukan dengan pembagian waris dengan jalan hibah.
§  Ada dua penyelesaian
1.      Hibah sebagai Hibah
Karena yang diberi hibah hanya sebagian anaknya saja. Maka kepada anak lain yang belum menerima hibah harus diberikan hibah kepadanya dengan nilai yang sama.
2.      Hibah sebagai Waris
Alasan yang mendasari sama dengan hibah.
Penyelesaiannya: Jumlah hibah diakumulasikan dengan jumlah HW. Kemudian nilai hibah  “imaginatif” tadi dibagi kepada AW yang ada.
§  Ada dua kemungkinan
1.      Hibah yang diterima lebih besar dari hak warisnya. Dalam hal ini, ia harus mengembalikan kelebihannya (H > W = KL).
Misal:
HW riil sejumlah                          
=   70 juta
Hibah yang diterima “A”             
 50 juta
Jumlah seluruh HW adalah          
= 120 juta
Seluruh HW sejumlah 120 kalau dibagi bertiga, masing-masing akan mendapat Rp 40 juta. Tetapi hibah yang diterima “A” LEBIH BESAR dari hak warisnya. Maka “A” harus mengembalikan Rp 10 juta.
2.      Apabila hibah lebih kecil dari hak warisnya. Maka, ia akan menerima kekurangannya (H < W = MK)


Misal:
HW riil sejumlah                             90 juta
Hibah yang diterima “A”                30 juta
Jumlah seluruh HW adalah           120 juta
Seluruh HW sejumlah 120 kalau dibagi bertiga, masing-masing akan mendapat Rp 40 juta. Tetapi hibah yang diterima “A” LEBIH KECIL dari hak warisnya. Maka “A” tinggal menerima kekurangannya sebesar  Rp 10 juta.

PERINTAH WAKAF DALAM ISLAM
Ø  Manfaat Wakaf
1.      Ibadah
2.      Tanggap bencana
3.      Beasiswa
4.      Pengentasan kemiskinan
|=ÏGä. öNä3øn=tæ #sŒÎ) uŽ|Øym ãNä.ytnr& ßNöqyJø9$# bÎ) x8ts? #·Žöyz èp§Ï¹uqø9$# Ç`÷ƒyÏ9ºuqù=Ï9 tûüÎ/tø%F{$#ur Å$rã÷èyJø9$$Î/ ( $ˆ)ym n?tã tûüÉ)­FßJø9$# ÇÊÑÉÈ  
Ø  Dalam ayat tsb, kata al-khayr diartikan “harta benda”. Oki, perintah melakukan           al-khayr berarti perintah untuk melakukan ibadah bendawi.
Ø  Interpretasi: Taqiy al-Din Abi Bakr Ibn Muhammad al-Husaini al-Dimasqi menafsirkan bahwa perintah untuk berbuat baik (al-khayr) berarti perintah untuk melakukan waqaf (Kifayat al- Akhyar 319)
Ø  Harta yang diinfaqkan akan berlipat menjadi 700 kali.
NOMENKLATUR WAKAF DALAM HADIS & FIQH TIDAK SERAGAM
§  Hadis
Dalam Hadis: shadaqah jariyah dan al-habs (harta yang pokoknya dikelola dan hasilnya didermakan)
§  Fiqh
1.  Al-Syarkhasi (al-Mabsuth), wakaf        Kitab al-Waqf
2Imam Malik        Kitab al-Habs wa al- Shadaqat
3Imam al-Syafi’i  (al-Umm)         al-Ahbas
4.  Imam Bukhari menyertakan hadis-hadis wakaf dalam Kitab al-Washaya
§  Secara teknis wakaf disebut al-ahbas, shadaqat jariyat, dan al-waqf.
§  Secara normatif ideologis dan sosiologis perbedaan nomenklatur wakaf tersebut dapat dibenarkan, karena landasan normatif perwakafan secara ekplisit tidak terdapat dalam al-Qur’an atau al-Sunnah dan kondisi masyarakat pada waktu itu menuntut akan adanya hal tersebut.

PENGATURAN WAKAF DI INDONESIA
Ø  Periode Pengaturan Wakaf
Sebelum PP 28/1977-sejak PP 28/1977 hingga KHI-setelah UU 41/2004.
Ø  Penelitian Prof. Rahmat Djatnika: wakaf sudah dipraktekkan sebelum Masa kolonial (abad 15).
Ø  Praktek wakaf didorong oleh motivasi agama yang kuat.
Ø  Sering menjadi penghambat bagi penataan wakaf secara adminsitratif.

A.    Sebelum berlakunya PP 28/1977
1.      Masa Kolonial
Pengaturan scr administratif dilakukan sejak masa kolonial tahun 1905. Bbrp kali diadakan perbaikan krn keberatan umat Islam.
a.       Surat Edaran Sekretaris Government No 435 termuat dalam Bijblade No 6195/1905.
·         SE tersebut berlku di seluruh Jawa-Madura kecuali Surakarta-Yogya.
·         Inti SE: (1) para Bupati mendaftar wakaf tanah umat Islam (2) untuk berwakaf harus ijin Bupati.
·         SE tidak efektif krn umat Islam menolak:
krn keharusan ijin untuk wakaf dan penilaian bhw SE mrpk campur tangan
kolonial thd urusan umat Islam.
b.      SE Sekretaris Government No 1361/ab termuat dalam Bijblade No 12573/1931.
·         SE ini lebih lunak: (1) Bupati ckp mendaftar asal tanah (wakaf atau bkn) (2) ijin wakaf diperingan, yaitu Bupati hny menilai aspek tempat dan maksudnya. Nmn ttp harus didaftar.
·         SE tidak efektif krn umat Islam menolak: wakaf mrpk tindakan hukum privat. Padahal sahnya hukum privat tdk perlu ijin pemerintah.
c.       SE No 3088/A Tahun 1934 termuat dalam Bijblade No 13390: penyelesaian sengketa tanah wakaf oleh Bupati apbl diminta pihak-pihak yg bersengketa.
d.      Penolakan umat Islam memaksa revisi SE No 1273/A dalam Bijblade 1935 No 13480.
SE terakhir ini mengandung perubahan: wakaf tdk perlu ijin, cukup memberitahu Bupati
2.      Pasca Kemerdekaan
Ø  Stl merdeka diiringi pembentukan Depag th 1946, wakaf mjd wewenang Depag berdasar: PP No 33/1949 jo PP No 8/1950 jo Permenag No 9/1952.
Ø  Substansi peraturan: Depag  berkwjb menyelidiki, mendaftar, mengawasi wakaf (tdk bergerak). Kewenangan Depag dlm soal wakaf tdk mengintervensi urusan umat.
Ø  Kmdn berdasar SE Depag No 5/D/1956 urusan wakaf diserahkan ke KUA dg tugas membantu orang yg akan wakaf melalui prosedur yg ada:
1.      Wakif membuat pernyataan.
2.       Ada pernyataan kpd nazhir
3.       KUA mbrth kehendak wakaf kpd Bupati utk disahkan.
4.       Ikrar wakaf
5.       Pendaftaran wakaf
Ø  Sampai awal 1960 peraturan perwakafan msh mengacu aturan kolonial, ttp ada perbedaan pengurusan. Masa kolonial mjd kompetensi Bupati, masa kemerdekaan mjd kompetensi KUA.
Ø  Pasca kemerdekaan wakaf berkembang. Peraturan kolonial tdk memadai lagi. Mk dlm pembaharuan Hk Agraria, wakaf mendapat perhatian khusus. Terbukti dg lahirnya UUPA No 5/1960.
Ø  Bab F Pasal 49 UUPA No 5/1960:
a.       Hak milik tanah badan-badan keagamaan & sosial sepanjang dipergunakan utk usaha-usaha bidang keagamaan & sosial diakui dan dilindungi. Badan-badan tersebut dijamin pula utk memperoleh tanah yg cukup untuk bangunan & usahanya dalam bidang keagamaan & sosial.
b.      Untuk keperluan peribadatan & keperluan suci lainnya, sbg dimaksud dlm pasal 14 dapat diberikan tanah yg dikuasai langsung oleh negara dg hak pakai.
c.       Perwakafan tanah milik dilindungi & diatur oleh pemerintah.
Ø  Setelah berlakunya PP 28/1977 Muncul beberapa peraturan pelaksanaannya:
1.      Permendagri No 6/1977 ttg Pendaftaran Tanah Milik
2.      Permenag No 1/1978 ttg Peraturan Pelaksanaan PP No 28/1977
3.      Instruksi Menag & Mendagri No 1/1978 ttg Pelaksanaan PP No 28/1977
4.      Kepmenag No 73/1978 ttg endelegasian Wewenang kpd KAnwil Depag utk mengangkat/memberhentikan Kepala KUA sbg PPAIW
5.      Per Dirjen Bimas Islam No Kep/D/75/1979 ttg formulir & Pedoman Pelaks PP No 28/1977
6.      KHI
7.      UU 41/2004
8.      PP 42/2006
Ø  PP hanya mengatur perwakafan tanah, & tdk mengatur selainnya.
Ø  KHI banyak kesamaan dg rumusan PP No 28/1977. Perbedaan mencolok terletak pd ruang lingkupnya. Wakaf dlm KHI bukan hny tanah, ttp juga menyangkut benda bergerak (uang).
Ø  Setelah berlakunya UU 41/2004 Banyak inovasi:
1.      Wakaf temporer
2.      Perluasan objek wakaf (HAKI, hak sewa, dsb)
3.      Pembentukan BWI

TATA CARA PERWAKAFAN
Tujuan Pengaturan Perwakafan dimaksudkan untuk ketertiban sebagaimana ditentukan dalam UU 41/2004 jo PP Nomor 28/1977.
A.    KEWAJIBAN CALON WAKIF
Calon wakif datang sendiri ke PPAIW. Bila tidak bisa karena sakit / tua, ia dapat membuat ikrar secara tertulis dengan persetujuan Kandepag yang mewilayahi letak tanah dihadapan 2 saksi (ikrar kemudian dibacakan pada nadhir di hadapan PPAIW).
B.     DOKUMEN
Dokumen yang harus disiapkan:
1.      Sertifikat hak milik atau tanda bukti pemilikan tanah yang lain, seperti surat IPEDA, girik, petuk, ketitir;
2.      Surat keterangan dari Kades diperkuat Camat yang menerangkan kebenaran pemilikan tanah dan tidak ada sengketa kepemilikan itu;
3.      Surat keterangan pendaftaran tanah;
4.      Izin bupati cq. Kasub Direktorat Agraria

C.    TUGAS PPAIW
1.      PPAIW meneliti surat-surat dan syarat  tersebut.  Apakah sudah memenuhi syarat pelepasan hak  atas tanah;
2.      Meneliti saksi-saksi;
3.      Mengesahkan susunan Nadhir

D.    PELAKSANAAN
·         Di hadapan PPAIW dan 2 orang Saksi, Wakif Melakukan IKRAR wakaf ditujukan kepada Nadhir;
·         Ikrar harus jelas dan tegas (diucapkan) dan dituangkan dalam bentuk tertulis;
·         Bagi Wakif yang tidak bisa bicara (bisu), ikrar dilakukan dengan isyarat kemudian mengisi formulir;
·         Setelah ikrar selesai, semua pihak menanda-tangani blangko ikrar wakaf.
·         Pasal 9 PP Nomor 28/1977 mengharuskan wakaf secara tertulis untuk:
(a)    berbagai persoalan, dan (b) untuk penyelesaian  sengketa.

E.     AKTA IKRAR WAKAF
PPAIW membuat Akta Ikrar Wakaf (AIW) rangkap 3 dibubuhi materai, memuat:
a.       Identitas Wakif
b.      Identitas Nadhir
c.       Ket peruntukan  harta wakaf
d.      Jangka waktu
·         Dalam waktu selambat-lambatnya 1 bulan, AIW harus disampaikan pada pihak-pihak yang bersangkutan.
·         AIW menurut PP Nomor 10/1961 Untuk memenuhi asas Publisitas dan Spesialitas.
·         PUBLISITAS, asas yang  yang mengharuskan nama, status hak dan beban-beban yang ada di atas sebidang tanah terdaftar dalam daftar umum, yaitu daftar yang terbuka untuk umum.
·         SPESIALITAS, asas yang menghendaki letak, luas dan batas-batas tanah tampak jelas (bagi siapapun juga). Maka sebidang tanah harus diukur, dipetakan dan dihitung luasnya.

WAKAF BENDA BERGERAK
A.    TATA CARA WAKAF UANG
§  Uang sdh bergeser fungsi, dr sekedar alat tukar.
§  sesuatu yg diperjualbelikan (komoditas).
B.     Pendapat ttg Wakaf Uang
1.      Fuqaha’ klasik:
a. Az-Zuhri: hukum wakaf dinar adl mubah.
b. Hanafiah: membolehkan wakaf dinar & dirham atas dsr istihsan bi al-’urf.
c. Sebagian Syafi’iyah yg diceritakan Abu Tsaur yg membolehkan wakaf dinar & dirham.
2.      KHI Pasal 215 (4): “BW adl sgl benda, baik benda bergrk maupun tdk bergrk yg memiliki daya tahan yg tdk hny sekali pakai & bernilai menurut ajaran Islam”.
3.      Fatwa MUI 11 Mei 2002: merujuk pd point 1 di atas.
4.      UU 41/2004 pasal 16 (3) Benda bergrk sbgmn dimaksud pd ayat (1) huruf b adl harta benda yg tdk bisa habis krn dikonsumsi, meliputi: uang, logam mulia, surat berharga, kendaraan, HAKI, hak sewa, & benda bergrk lain sesuai dg ketentuan syariah & peraturan per UU yg berlaku.
C.    Ketentuan-ketentuan
a.       Wakif wjb hadir ke LKS-PWU utk ikrar, bl berhalangan dpt mewklkan;
b.      Wakif wjb mjlsk asal usul uang yg akan diwakafkan;
c.       Wakif wjb myrhk Scr tunai uang yg akan diwakafkan;
d.      Wakif wjb mengisi form wakaf yg Berfungsi sbg AIW;
e.       LKS-PWU menerbitkan SWU disrhk wakif & nazhir.
D.    Pengaturan Wakaf uang
1.      Pasal 28 UU 41/2004: Wakif dapat mewakafkan benda bergrk berupa uang mll LKS yg ditunjuk oleh Menteri.
2.      Pasal 29
(1)  Wakaf benda bergrk berupa uang sbgmn dimaksud dlm Pasal 28 dilaksanakan oleh Wakif dg pernyataan kehendak Wakif yg dilakukan scr tertulis.
(2)  Wakaf benda bergrk berupa uang sbgmn dimaksud pd ayat (1) diterbitkan dlm bentuk sertifikat wakaf uang.
(3)   SWU sbgmn dimaksud pd ayat (2) diterbitkan & disampaikan oleh LKS kepada Wakif & Nazhir sbg bukti penyerahan harta BW.

PEJABAT PEMBUAT AKTA IKRAR WAKAF (PPAIW)
A.    DASAR HUKUM
·         Peraturan tentang wakaf bersifat memperbarui secara total sistem perwakafan sesuai politik hukum agraria nasional.
·         Dgn adanya pembaruan, wakaf tidak cukup hanya memenuhi unsur-unsurnya saja. Tetapi krn wakaf menurut Hukum Agraria Nasional telah dianggap sbg institusi keagamaan yg formal, shg wakaf tidak hanya tunduk pada hukum agama saja, ttp juga harus tunduk pd POLHUKNAS.
·         Sebagai konsekwensinya, wakaf harus diucapkan (diikrarkan) di depan PPAIW.
·         Meskipun eksistensi PPAIW menurut fiqh tidak diatur, tetapi apabila dirujuk dari perspektif metodologi hukum Islam, maka keberadaannya dibutuhkan & sesuai dg tujuan perwakafan.
·         Eksistensi PPAIW menunjukkan terjadinya pergeseran norma; yg sebelumnya wakaf cukup dilakukan secara informal, kini sudah tidak memadai lagi.
·         Dasar hukum PPAIW:
a.       PP No 10/1961 ttg Pendaftaran Tanah pasal 19
b.      LNRI No 28/1961
c.       Tambahan LNRI 2171
d.      PP No 28/1977 pasal 9 (1 dan 2)
e.       PP No 1/1991 ttg KHI
f.       UU No 41/2004 pasal 1 (6) dan 17
g.      PP No 42/2006
·         PP 28/1977, ps 9 (1-2)
“Setiap perjanjian yg bermaksud memindahkan hak atas tanah,
memberikan sesuatu hak baru atas tanah, menggadaikan tanah utk meminjamkan uang dg hak atas tanah sbg tanggungan, harus dibuktikan dg suatu akta yg dibuat oleh & dihadapan pejabat yg ditunjuk Menteri Agraria”.
·         Wakaf merupakan bentuk pengalihan kepemilikan tanah dari wakif kepada nadhir;
·         Wakaf sbg institusi keagamaan, maka yg dimaksud oleh PP 28/1977 ps 9 (1-2) adalah Menteri Agama;
·         PPAIW adl pejabat resmi yg diangkat pemerintah berdasarkan peraturan perundang-undangan yg berlaku;
·         Produknya adl Akta Ikrar Wakaf (AIW) yg mempunyai kedudukan sbg Akta Otentik. PPAIW sbg ujung tombak penanganan wakaf.
·         PEJABAT YG MENGANGKAT & MEMBERHENTIKAN PPAIW:
a.       PPAIW diangkat & Diberhentikan Menag (PP 28/1977 jo UU 41/2004 ps 1)
b.      Menag mendelegasikan ke Kakanwil Depag Prop (Kep Menag 73/1978)
c.       Didelegasikan ke Kabid Urais yg untuk & a.n. Kakanwil mengangkat PPAIW
·         PPAIW dlm perundang-undangan Lebih dominan menjalankan fungsi administrasi daripada manajemen (pengawasan).
KHI
1.      Menerima ikrar, menyerahkan ke nadhir & mengawasi kelestarian BW (ps 215 [6])
2.      Menerima laporan periodik dr nadhir (ps 220 [2])
3.      Mengangkat &memberhentikan nadhir (ps 221)
4.      Bersama MUI menentukan imbalan bagi nadhir (ps 222)
5.      Mendaftarkan BW kpd instansi berwenang (ps 224)
6.      Memberikan persetujuan perubahan BW (ps 225)
7.      Bersama PA & MUI mengawasi tugas nadhir (ps 227)
UU 41/2004
PPAIW berfungsi sbg:
a.       Menerima bukti kepemilikan BW (ps 19)
b.      Menyaksikan ikrar wakaf (ps 17 [1])
c.       Pejabat yg berwenang membuat AIW (ps 1 [6])
d.      Mendaftarkan BW kpd instansi berwenang maks 7 hari sejak AIW ditanda-tangani (ps 32)
e.       Mendaftarkan BW yg akan ditukar/diubah (ps 36)
f.       Pengawasan & pembinaan dilakukan Menteri, BWI dg pertimbangan MUI (ps 227)
PPAIW berfungsi administratif
Friedman: substansi-kultur-Institusi PPAIW

FASE PELEMBAGAAN HI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar