Latar Belakang
& Ruang Lingkup HPII sebagai suatu rumusan yang bersumber dari Islam sebagai agama yang
mengandung nilai universal:
1.
Ibadah
2.
Hukum
3.
Ekonomi
4.
Ekologi
5.
Pendidikan
6.
Sosial
Fase
pelembagaan Hukum Islam:
Hukum Islam
(HI) lahir secara evolutif dalam 3 (tiga) fase:
1. Tahkim
2. Ahlul halli wal ‘Aqdi
3. Peradilan (delegation of authority)
Sejarah HI di
Indonesia:
·
HI di Indonesia diterima oleh masyarakat yang dapat dilihat mulai
masa-masa kerajaan Islam. HI diberlakukan sebagai hukum negara. Aceh, Mataram,
Banten, Wajo.
·
Akulturasi Adat-Islam “Adat Bersendi Syara’, Syara’ bersendi
Kitabullah”.
·
Eksistensi HI diakui kolonial.
Teori
pemberlakuan HI:
·
Receptio in Complexu
(Van den Berg) “HI diterima (diresepsi) secara menyeluruh oleh umat Islam”.
·
Receptio Receptie (C. Snouck Hurgronje) “HI berlaku apabila
telah diresepsi oleh Hukum Adat”. Berimplikasi dikeluarkan Stbl 1937 Nomor 116.
Terjadi reduksi materi HI.
·
Receptio a Contrario
“Hukum Adat yang tidak sejalan dengan HI harus ditolak”.
HI dan
ketentuan hukumnya:
·
Ada 4 produk pemikiran HI: fiqh, fatwa, keputusan pengadilan, &
UU.
·
Sebelum Kompilasi Hukum Islam (KHI): doktrin fiqh yang
mengakibatkan disparitas putusan pengadilan.
·
Hukum modern: unifikasi dan kodifikasi.
Kompilasi Hukum
Islam (KHI):
§ Ditetapkan
berdasarkan Inpres Nomor 1/1991 (yuridis-politis).
§ KHI = Hukum
Positif Islam
§ Fungsi KHI:
1. langkah awal kodifikasi &
unifikasi hukum
nasional
2. pegangan praktisi PA
3. pegangan bagi masyarakat muslim
§ KHI mengikat
hakim, dengan tetap berpeluang melakukan ijtihad.
Perturan lain:
§ UU Nomor
18/2003 tentang Profesi Advokat
§ UU Nomor
41/2004 tentang Wakaf
§ UU Nomor 3/2006
tentang Peradilan Agama
§ RUU Hukum
Terapan Peradilan Agama Bidang Perkawinan
PEMINANGAN
Ø Fiqh Sunnah:
“Peminangan merupakan langkah pendahuluan menuju ke arah perjodohan antara
seorang pria dan wanita”.
Ø KHI Pasal 1 a:
“Peminangan ialah kegiatan upaya ke arah terjadinya hubungan perjodohan antara
seorang pria dan seorang wanita dengan cara-cara yang baik (ma’rūf)”.
Tujuan
peminangan:
·
Islam mensyari’atkan
peminangan (khitbah) agar kedua calon mempelai dapat saling mengenal dan
memahami kepribadian masing-masing.
·
Dengan memahami calon pasangannya diharapkan ia dapat mendapatkan
jodoh sesuai dengan kriteria yang ditegaskan oleh Hadits.
Hukum
peminangan:
·
Jumhur (Peminangan
tidak wajib, tapi sudah menjadi tradisi yang berlaku di masyarakat).
·
Dawud al-Dhahiri (Meminang
hukumnya wajib).
Teknik
peminangan:
·
Peminangan dapat langsung dilakukan oleh orang yang berkehendak
mencari pasangan jodoh, tapi dapat pula dilakukan oleh perantara yang dapat
dipercaya (pasal 11 KHI).
·
Peminangan dapat dilakukan secara terang-terangan (sarīh)
atau dengan sindiran (kināyah) (al-Baqarah 235).
Syarat
peminangan:
·
Peminangan dapat dilakukan thd seorang wanita yang masih perawan
atau janda yang telah habis masa iddah (pasal 12 KHI).
·
Pasal 12 (2), (3), dan KHI
(2) haram meminang wanita (sarīh)
dlm masa ‘iddah
raj’iyyah
(3) dilarang meminang wanita yang sedang
dalam pinangan pria lain
·
- wanita iddah wafat
tdk boleh sarīh, boleh kināyah
- wanita iddah bain sughra tdk boleh
- wanita iddah bain kubra hanya boleh
suami stl isteri
menikah dan bercerai dengan pria
lain
Akibat hukum peminangan:
n Peminangan
belum menimbulkan akibat hukum (pasal 13 [1] KHI).
n Kebebasan
memutuskan peminangan dilakukan dengan tata cara yang baik (pasal 13 [2] KHI).
Analogi dengan hak khiyār.
n Akibat hukum
peminangan hanya terkait dengan harta pemberian apabila terjadi pemutusan
hubungan peminangan.
Konsekwensi
putusnya peminangan terhadap harta pemberian:
n Imam Syafi’i (dikembalikan,
apabila barang pemberian sudah tidak ada tidak perlu diganti)
n Imam Hanafi (dikembalikan,
apabila barang pemberian sudah tidak ada harus diganti)
n Imam Maliki (dilihat
siapa yang memutuskan, yang memutus wanita harus dikembalikan, yang memutus
pria tidak dikembalikan)
PRINSIP-PRINSIP PERKAWINAN
Pasal 1 UUP
Nomor 1 Tahun 1974:
Perkawinan adalah ikatan lahir batin
antara seorang pria dan wanita sebagai suami isteri untuk membentuk rumah
tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan YME.
Karena
pentingnya perkawinan, UUP dan KHI menetapkan prinsip-prinsip perkawinan:
1.
Tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan
kekal.
Untuk
itu suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat
mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan
material.
2. Suatu perkawinan
adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu. Di samping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat.
3. 3. UUP menganut
asas monogami. Tetapi apabila dikehendaki, karena hukum & agama ybs
mengizinkan, seorang suami dapat beristeri lebih dari satu.
4. UUP menganut
prinsip calon suami isteri harus masak jiwa raganya untuk melangsungkan
perkawinan. Agar terwujud tujuan perkawinan, terhindar dari perceraian dan
dapat melakukan proses reproduksi yang sehat.
5. Karena tujuan
perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, maka UUP
menganut prinsip untuk mempersulit terjadinya perceraian.
6.
Hak dan kedudukan suami isteri seimbang. Baik dalam kehidupan rumah
tangga maupun masyarakat.
Reposisi
peran isteri bukan hanya dalam sektor domestik, tapi juga sektor publik.
RUKUN DAN SYARAT NIKAH
n Fiqh mengenal
dua istilah yang berbeda kendati hukumnya sama, yaitu nikah al-fasid dan
nikah al-batil. Nikah fasid: nikah yang tidak memenuhi salah satu
syarat. Nikah batil: nikah yang tidak terpenuhi rukun-rukunnya.
n Hukum nikah
fasid dan batil: tidak sah.
A. Mempelai, syaratnya:
1. Memenuhi
standar usia perkawinan; 19 th bagi laki-laki dan 16 th bagi perempuan. Kurang
dari standar itu harus mendapat dispensasi dari pengadilan.
SLIDE RUKUN DAN SYARAT
Tingkat kecakapan melakukan perkawinan:
-
Usia < 16/19 tahun
-
2.
Persetujuan; bisa secara lisan maupun tulisan. Menegaskan tidak
diperbolehkannya nikah paksa (ijbar nikah)
3.
Tidak ada halangan pernikahan. Seperti yang ditentukan dalam ps.
40-44 KHI.
Larangan perkawinan Pasal
39 KHI:
Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dg seorang
wanita disebabkan:
1. Karena
pertalian nasab
a. Dg seorang wanita yg melahirkan atau
yg menurunkannya atau
keturunannya,
b. Dg seorang wanita keturunan ayah
atau ibu,
c. Dg seorang wanita saudara yg melahirkan.
2. Karena pertalian kerabat semenda:
- Dg seorang wanita yg melahirkan isteri atau bekas isteri, (ibu mertua)
- Dg seorang wanita bekas isteri orang menurunkannya, (ibu tiri yg dicerai)
- Dg seorang wanita keturunan isteri atau bekas isteri,kecuali putusnya perkawinan dg bekas isteri qabla al-dukhul, (AK/AT)
- Dg seorang wanita bekas isteri keturunannya. (menantu)
3. Karena pertalian sesusuan:
- Dg wanita yg menyusuinya dst menurut garis lurus ke atas,
- Dg seorang wanita sesusuan dst menurut garis lurus ke bawah,
- Dg seorang wanita sdr sesusuan, & kemenakan sesusuan ke bawah,
- Dg seorang wanita bibi sesusuan dan nenek bibi sesusuan ke atas,
- Dg anak yang disusui oleh isterinya dan keturunannya.
Larangan sementara
-
Pasal 40 KHI:
Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dg seorang
wanita krn keadaan tertentu:
a. Krn wanita yg bersangkutan msh terikat satu perkwnn
dg pria lain.
b. Seorang wanita yg msh berada dlm masa iddah dg pria lain.
c. Seorang wanita yg tdk beragama Islam.
-
Pasal 41 KHI:
menjelaskan larangan kawin karena pertalian nasab dg wanita yg telah
dikawini:
(1) Seorg pria dilarang memadu isterinya dg seorang wanita yg
mempunyai hub pertalian
nasab atau sesusuan dg isterinya:
a. saudara kandung,
seayah atau seibu serta keturunannya
b. wanita dg bibinya
atau kemenakannya
(2) Larangan tersebut pada ayat (1) tetap berlaku mskp isteri-
isterinya telah ditalak
raj’i, tetapi masih dalam masa iddah.
-
Pasal 42 KHI:
Seorang pria dilarang melangsungkan perkawinan
dg seorang wanita apabila pria tsb sdg mempunyai 4 orang isteri yg keempat-empatnya
msh terikat tali perkawinan atau masih dlm iddah talak raj’i ataupun salah
seorang diantara mereka masih terikat tali perkawinan sdg yg lainnya dlm masa
iddah talak raj’i.
-
Pasal 43 KHI:
(1) Dilarang melangsungkan perkawinan atr seorang pria:
a. Dg seorg wanita bekas
isterinya yg ditalak 3 kali
b. Dg seorg wanita bekas
isterinya yg dili’an
(2) Larangan tsb pd ayat (1) huruf a gugur kalau bekas
isteri tadi tlh kawin dg
pria lain, kmdn pria tsb putus
ba’da dukhul & tlh habis
masa iddahnya.
-
Pasal 44 KHI:
“Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan
seorang pria yang tidak beragama Islam”
B. Wali nikah, syarat:
§ Laki-laki,
muslim, baligh.
§ Prinsip:
mendahulukan urutan wali yang lebih dekat;
a.
wali nasab & wali hakim
b.
wali nasab terdiri dari wali aqrab & wali ab’ad.
- Urutan wali:
§ Kerabat
laki-laki garis lurus ke atas; ayah, kakek, dst.
§ Kerabat saudara
laki-laki; sekandung/sebapak & keturunan laki-laki.
§ Kerabat paman;
saudara laki-laki sekandung/sebapak dengan ayah & keturunan laki-laki.
§ Saudara
laki-laki sekandung/sebapak dengan kakek.
C. Saksi nikah, syarat:
§ Terdiri dari
dua orang saksi.
§ Muslim, adil,
dan baligh.
§ Tidak terganggu
ingatan dan bisu tuli
§ Hadir dan
menyaksikan langsung akad nikah, serta menandatangani Akta Nikah pada waktu dan
di tempat akad nikah dilangsungkan. (ps. 24-26 KHI)
D. Akad, syarat:
a.
Ada pernyataan ijab dari wali.
b.
Ada pernyataan qabul dari mempelai laki-laki.
c.
Menggunakan kata nikah, tazwij dan yang sepadan dengannya.
d.
Antara ijab dan qabul bersambung (ps. 27 KHI)
e.
Ijab dan qabul jelas maksudnya.
f.
Orang yang terkait ijab qabul tidak sedang dalam ihram haji dan
umrah.
g. Dihadiri
minimal 4 orang
- Wakalah dala
ijab qabul:
§ Wakalah pada saat ijab sudah lazim, wali
menyerahkan kepada penghulu (ps. 28 KHI).
§ Wakalah juga
bisa diakukan pada saat qabul, dengan syarat mempelai pria memberi kuasa yang
tegas dan tertulis bahwa penerimaan wakil atas akad nikah itu adalah untuk
mempelai pria.
§ Dalam hal calon
mempelai wanita atau wali keberatan calon mempelai pria diwakili, maka akad
nikah tidak boleh dilakukan (ps. 29 KHI)
Alasan, Syarat dan Prosedur POLIGAMI
-
Dasar Hukum
UUP 1/1974
§ Pasal 3 (Asas perkawinan adalah monogami. Kecuali hukum agama membolehkan
dan dikehendaki oleh yang bersangkutan).
§ Pasal 4 (Mengatur
alasan poligami).
§ Pasal 5 (Mengatur
syarat poligami).
-
Alasan poligami
§ Isteri tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai seorang isteri.
§ Isteri sakit
atau cacat badan yang tidak dapat disembuhkan.
§ Isteri tidak
dapat melahirkan keturunan.
-
Syarat poligami
§ Ada persetujuan dari
isteri
Persetujuan isteri lisan/tertulis. Persetujuan tertulis dipertegas secara lisan
(KHI ps 58).
Persetujuan
tdk diperlukan apbl isteri tdk mungkin dimintai persetujuan, tdk dpt mjd pihak
dlm perjanjian, & tdk ada kabar sekurang-kurangnya 2 tahun (UUP ps 5 [2]).
§ Suami mampu menafkahi
isteri-isteri dan anak-anaknya.
§ Suami mampu
berlaku adil kepada isteri-isterinya.
-
Prosedur poligami
§ Kepada pengadilan
suami mengajukan permohonan ijin poligami secara tertulis.
§ Pengadilan akan
melakukan pemeriksaan terhadap:
1.
Ada/tidaknya alasan poligami
2.
Ada/tidaknya syarat poligami
3.
Ada/tidaknya kemampuan suami
§ Atas keputusan
pengadilan, suami atau isteri berhak melakukan upaya hukum.
SLIDE POLIGAMI
PUTUSNYA PERKAWINAN
UUP pasal 38, perkawinan dapat putus karena:
- Kematian
- Perceraian
- Keputusan Pengadilan
A.
Kematian
-
Implikasi bagi Suami:
- Gono Gini: pasangan yang hidup lebih lama mendapat ½
- Waris: ½ tidak ada anak, ¼ bila ada anak
- Hadlanah: Memenuhi kebutuhan hingga anak dewasa
-
Implikasi kematian bagi istri
1.
Menjalani masa ‘iddah:
a. 4 bulan 10 hari, bagi isteri ba’da dan qabla dukhul (KHI)
b. sampai melahirkan atau waktu terlama bagi
isteri hamil
2.
Gono Gini
3.
Waris
4. Hadlanah
B. Perceraian
Prinsipnya UUP mempersulit terjadinya perceraian (ps 39 ayat 1-2):
- Perceraian hny dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah Pengadilan yg bersangkutan berusaha & tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak;
- Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami dan isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri;
-
Alasan-alasan perceraian (ps 116 KHI)
a.
Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat,
penjudi dlsb yang sukar disembuhkan;
b.
Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun
berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yg sah atau krn hal lain
di luar kemampuan;
c.
Salah satu pihak mendapat hukuman penjara lima tahun atau hukuman
yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
d.
Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain;
e.
Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dg akibat tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami isteri;
f.
Antara suami & isteri terus menerus tjd perselisihan &
pertengkaran & tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga;
g.
Suami melanggar taklik talak;
h. Peralihan agama
atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga.
CERAI TALAK
Tanggung jawab suami apabila menceraikan isteri:
- Membayar mahar yg masih terhutang. Mahar diberikan seluruhnya bagi isteri ba’da dukhul, dan separoh bagi isteri yg qabla dukhul.
- Memberi mut’ah.
- Memberi nafkah selama masa iddah.
- Membayar nafkah madliyah.
- Menanggung biaya hadlanah.
CERAI GUGAT
•
Cerai Gugat identik dengan khulu’ isteri harus membayar iwadl
kepada suami
•
Pada Cerai Gugat suami hanya menanggung biaya hadlanah anak.
BENTUK-BENTUK
TALAK
1. Talak Raj’i
Talak I dan II
dimana dapat kembali dg rujuk
2. Talak Ba’in Sughra
(a) khuluk, (b)
put pengadilan, (c) qabla dukhul.
Tidak bisa rujuk,
hrs dengan akad baru
- Talak Ba’in Kubra
Talak ketiga.
Tidak boleh menikah kecuali sesudah dinikahi muhallil.
RUJUK
A. Definisi
§ Secara
terminologi rujuk berarti kembalinya suami pada hubungan nikah dengan isteri
yang telah dicerai raj’I, dan dilaksanakan selama isteri masih dlam masa iddah.
§ Rujuk adalah
perbuatan terpuji untuk membangun kembali rumah tangga, setelah melewati masa
krisis.
§ Al-Baqarah ayat
228 “Dan suaminya berhak merujukinya dalam masa iddah, jika mereka (suami) itu
mengehndaki islah”.
KHI pasal
163-166:
(1) Seorang suami dapat
merujuk isterinya yang dalam masa iddah;
(2) Rujuk dapat
dilakukan dalam hal-hal:
a. Putusnya perkawinan karena talak, kecuali talak yang
telah jatuh tiga kali atau talak yang dijatuhkan qabla al-dukhul.
b.
putusnya perkawinan berdasar putusan pengadilan dengan alasan atau
alasan-alasan selain zina dan khulu’.
§ Rujuk tidak
boleh dilakukan secara sepihak. Isteri harus menyetujui kehendak rujuk dari
suaminya. Rujuk tanpa persetujuan isteri dapat dinyatakan tidak sah dengan
putusan PA (ps 165 KHI)
§ Rujuk harus dicatat
di adapan Pegawai Pencatat Nikah (PPN).
Tata Cara Rujuk
(pasal 167 KHI):
(1) Suami dan isteri
datang bersama ke PPN dengan membawa penetapan terjadinya talak
dan keterangan lain yang diperlukan;
(2) Rujuk dilakukan
dengan persetujuan isteri;
(3) PPN memeriksa
apakah rujuk yang akan dilakukan memenuhi syarat: dalam talak raj’I, dan wanita
itu isterinya;
(4) Setelah suami
mengucapkan rujuk, pihak-pihak beserta saksi menanda-tangani Buku Pendaftaran
rujuk;
(5) PPN memberikan
nasehat tentang kewajiban yang berkaitan dengan rujuk.
PENDAHULUAN
Pengertian, hubungan kewarisan, kewajiban ahli waris
A. Definisi
Perpindahan
kepemilikan kepada orang tertentu, dengan bagian tertentu, karena matinya
seseorang.
Aturan
kewarisan bertujuan mengatasi kecenderungan materialisme manusia.
B. Kewajiban ahli waris sebelum membagi waris
1.
Merawat janazah (Dilakukan mulai
perawatan hingga
meninggalnya pewaris)
2. Membayar hutang
§ hutang menjadi
tanggung jawab pribadi
§ hutang bisa
dialihkan kepada AW
§ waris bisa
berupa pasiva dari pewaris
3.
Menunaikan wasiat (wasiat kepada
AW dengan Pengecualian
wasiat maksimal ⅓)
4.
Membagi gono-gini
§ membagi harta gono gini kepada pasangan almarhum
§ bagian gono-gini sebesar ½
5.
Membagi waris
ASAS-ASAS KEWARISAN
Ijbari,
bilateral, individual, keadilan berimbang, dan semata akibat kematian.
-
ASAS-ASAS KEWARISAN KHI
I.
Asas Ijbari
II.
Asas Bilateral
III.
Asas Individual
IV.
Asas Keadilan Berimbang
V.
Asas Kewarisan Semata akibat
Kematian
A. Asas Ijbari
Peralihan harta
dari seseorang yang telah mati kepada AW berlaku dengan sendirinya menurut
ketentuan Allah. Bukan ditentukan oleh kehendak pewaris / AW.
1. Peralihan kepemilikan
-
Pewaris tidak dapat menolak peralihan harta waris (HW), karena
sudah diatur oleh hukum waris. Pewaris berhak maksimal 1/3 untuk wasiat.
-
KHI ps. 187 (2) yang ditunjukkan dengan kata “harus” yang maknanya
wajib.
-
Dalam kewarisan Islam, ahli waris (AW) “terpaksa” menerima. Ini
berbeda dengan ps. 1056-1062 BW yang memperbolehkan AW untuk menerima atau
menolak.
2. Penetapan ahli waris
-
KHI pasal 174
Pihak yang berhak sebagai ahli waris
dibatasi pada dua hubungan, yaitu nasabiyah dan sababiyah. Di
luar keduanya tidak boleh.
3. Penetapan bagian HW
-
KHI ps. 176-182.
Bagian HW sudah ditentukan menurut kedudukan masing2 AW, seperti ¼, ½, ¾, ⅓, ⅔, ⅛ dsb.
B. Asas Bilateral
-
Seseorang menerima hak waris dari kedua-belah pihak garis kerabat
-
Sesuai dg an-Nisa’
7, 11-12 dan 176. Juga dengan customary law Jawa “sepikul segendongan”.
-
Asas ini menengahi dua kutub
kewarisan yang ekstrim; matrilineal dan patrilineal.
-
Kewarisan matrilineal adalah sistem kewarisan dari pihak ibu,
seperti di Minangkabau.
-
Kewarisan patrilineal adalah sistem kewarisan dari pihak bapak,
seperti di Batak.
-
Sistem matrilineal di Minangkabau diterapkan pada Harta Pusaka
Tinggi. Sedangkan Harta Pusaka Rendah dibagi menurut hukum waris Islam.
-
Pepatah-silogisme: “Adat bersendi Syara’, Syara’
bersendi Kitabullah, Adat bersendi
Kitabullah”.
C. Asas Individual
-
HW dapat dibagi kepada AW untuk dimiliki secara perorangan (KHI ps.
176-180);
-
Implikasi dr kepemillikan itu, AW berhak mentasharrufkan utk
keperluan apapun;
-
Hak AW:
1.
Menerima HW sekalipun masih kecil.
2.
Pengelolaan HW anak yatim diserahkan kepada wali yang ditunjuk keluarga.
-
Wali pengelola harus berhati-hati dan memisahkan hartanya dengan HW
anak yatim.
è Perluasan asas individual
Seorang
mendapat bagian HW karena kedudukan dirinya memiliki hubungan kewarisan dg
pewaris.
D. Asas Keadilan Berimbang
-
Dalam pembagian HW harus terdapat keseimbangan antara hak dan
kewajiban, sehingga HW yang diterima proporsional (UUP
Nomor 1/1974 pasal 34).
-
Asas yang krusial, karena dinilai mjd penyebab perlakuan tidak adil
pembagian waris antara laki-laki dan wanita.
E. Asas Kewarisan Semata Akibat Kematian
-
Perpindahan HW kepada AW berlaku setelah matinya pewaris.
-
Asas ini berkaitan dengan Asas Ijbari.
-
Dalam KHI tidak mutlak, karena ada pengakuan terhadap hibah yang
dapat diperhitungkan sebagai HW (Waris-Hibah-Wasiat)
ALTERNATIF PEMBAGIAN WARIS DALAM KHI
1.
Perdamaian;
2.
Penggantian kedudukan AW (plaatsvervulling)
3.
Kewarisan Kolektif
4.
Anak dan orang tua angkat mendapat Wasiat Wajibah;
5.
Hibah diperhitungkan sebagai waris.
A. Perdamaian
Pasal 183 KHI (Para AW dapat bersepakat melakukan
perdamaian dalam Pembagian harta
warisan, setelah Masing-masing menyadari bagiannya).
a. Bentuk Perdamaian
1. Memberikan
bagian waris sesuai kedudukan dan kebutuhan, meskipun ukurannya beda dg haknya.
Contoh:
IBU: rumah & seluruh perabot
ANAK SULUNG : sawah & kebun,
ANAK BUNGSU : kios & asetnya.
2. Membagi
berdasarkan persetujuan bersama. Kemungkinan bagiannya berbeda dengan formulasi
2:1. Misal,
karena mempertimbangkan faktor ekonomi yang berbeda (identik dengan teori batas Syahrur)
b. Syarat
Perdamaian
1.
Masing-masing AW harus menyadari bagiannya (Agar tidak menyesal, setelah mengetahui bagiannya berubah).
2.
AW harus telah dewasa (Sbg syarat sah tindakan
hukum. AW blm dewasa diberi sesuai haknya).
3.
Tidak boleh ada paksaan (Damai
= setuju, AW
yg tidak sepakat diberi sesuai
haknya).
4.
Tidak boleh disemangati untuk menentang nash (Tidak
perlu mendiskriditkan
nash).
B. Penggantian
kedudukan AW (plaatsvervulling) secara modifikasi.
-
Alternatif ini bertujuan untuk mengatasi
ketentuan fiqh yang dinilai
“tidak adil“.
-
Pasal 185 KHI:
(1)
AW meninggal lebih dahulu daripada pewaris, mk kedudukannya dapat
digantikan oleh anaknya kecuali mereka yg tersebut dlm Pasal 173
(halangan menerima waris).
(2)
Bagian bagi AW pengganti tdk boleh melebihi dari bagian AW yang
sederajat dengan yg diganti.
SLIDE 7 - ALTERNATIF PLATSVERVULLLING
C. Kewarisan
Kolektif
Dasar KHI pasal
189:
(1) Bila harta warisan yg akan dibagi berupa lahan
pertanian yg luasnya kurang dari 2 hektar, supaya dipertahankan kesatuannya
sebagaimana semula, & dimanfaatkan untuk kepentingan bersama para AW yg
bersangkutan.
(2) Bila ketentuan tsb pada ayat (1) Pasal ini
tidak dimungkinkan karena di antara para AW yg bersangkutan ada yg memerlukan
uang, maka lahan tersebut dapat dimiliki oleh seseorang atau lebih AW dgn cara
membayar harganya kepada AW yg berhak sesuai dengan bagiannya masing-masing.
Tidak dikenal
dalam faraidh, diadopsi dari Hukum Adat, seperti di Ambon, Minangkabau,
dan Minahasa. Karena:
1.
Untuk mempertahankan kesatuan geneologis.
2.
Harta pusaka biasanya diserahkan kpd anak tertua yg
bertanggung-jawab kpd keluarga.
3.
Untuk pemenuhan kebutuhan keluarga.
KHI tidak
mengadopsi secara utuh, melainkan melakukan modifikasi. Tujuannya
untuk meningkatkan produktifitas fungsi tanah pertanian.
Apabila ada AW
yang membutuhkan uang, maka NYUSUKI.
Solusi apabila
ada AW yang memerlukan uang (KHI ps 189 ayat 2).
D. Anak dan orang
tua angkat mendapat Wasiat Wajibah
§ Riwayat Zaid
bin Haritsah menunjukkan sikap Islam terhadap anak angkat.
§ Dalam faraidh
sdh ditentukan sebab kewarisan.
§ Sebab kewarisan
1. Nasabiah (disebabkan hubungan darah)
2. Sababiyyah (disebabkan oleh ikatan suami/istri)
§ WASIAT WAJIBAH: Seseorang dianggap menerima wasiat, meskipun secara in
concreto tidak pernah ada wasiat.
§ Tidak perlu ada
akta wasiat seperti wasiat pada umumnya.
§ Ada hubungan
special antara orang
tua dan anak angkat.
§ Wasiat wajibah
merupakan jalan tengah. Pada satu sisi tidak boleh memberi waris, tetapi
menghalangi pemberian antara anak dan orang tua angkat juga tidak manusiawi.
§ ‘Illat (ratio
legis) pemberian wasiat wajibah adalah pengangkatan anak.
§ Bila ‘illat
ada maka ada hokum ( ﻳﺪﻮرﻣﻊ ﻋﻠﺘﻪ اﻟﺤﻜﻢ)
§ Abd latif:
kalau sdh diatur positif bgman ? Dlm sikon apa k kol dilakukan.
§ April: adat
agar terjaga dipertahankan. Kalau butuh semua bagmn ? Pembagian manfaat.
E. Hibah dari
Orang Tua Dapat
Diperhitungkan Sebagai Warisan
§ Dasar hukum
1.
Pasal 211 Kompilasi Hukum Islam: “Hibah
dari orang tua dapat diperhitungkan sebagai warisan”.
2.
Hukum Adat.
§ Filosofi
a.
Keharusan orang tua berlaku adil terhadap anak-anaknya
b.
Karena ada pemberian yang sering tidak berimbang kepada anak-anak
c.
Terkait dalam hal ini, boleh bagi orang tua mencabut hibah dari anak,
karena ada ketidak-adilan.
d. Jangan
dikelirukan dengan
pembagian waris dengan jalan hibah.
§ Ada dua penyelesaian
1. Hibah sebagai Hibah
Karena yang diberi hibah hanya sebagian
anaknya saja. Maka kepada anak lain yang belum menerima hibah harus
diberikan hibah kepadanya dengan nilai yang sama.
2. Hibah sebagai Waris
Alasan yang mendasari sama dengan
hibah.
Penyelesaiannya: Jumlah hibah diakumulasikan
dengan jumlah HW. Kemudian nilai hibah “imaginatif”
tadi dibagi kepada AW yang ada.
§ Ada dua kemungkinan
1.
Hibah yang diterima lebih besar dari hak warisnya. Dalam hal
ini, ia harus mengembalikan kelebihannya (H > W = KL).
Misal:
HW riil sejumlah = 70 juta
Hibah yang diterima “A” = 50 juta
Jumlah seluruh HW adalah = 120 juta
HW riil sejumlah = 70 juta
Hibah yang diterima “A” = 50 juta
Jumlah seluruh HW adalah = 120 juta
Seluruh HW sejumlah 120 kalau dibagi
bertiga, masing-masing akan mendapat Rp 40 juta. Tetapi
hibah yang diterima “A” LEBIH BESAR dari hak warisnya. Maka “A”
harus mengembalikan Rp 10 juta.
2. Apabila hibah lebih
kecil dari hak warisnya. Maka, ia akan menerima kekurangannya (H < W = MK)
Misal:
HW riil sejumlah 90 juta
Hibah yang diterima “A” 30 juta
Jumlah seluruh HW adalah 120 juta
HW riil sejumlah 90 juta
Hibah yang diterima “A” 30 juta
Jumlah seluruh HW adalah 120 juta
Seluruh HW sejumlah 120 kalau dibagi bertiga, masing-masing akan
mendapat Rp 40 juta. Tetapi hibah
yang diterima “A” LEBIH KECIL dari hak warisnya. Maka “A” tinggal
menerima kekurangannya sebesar Rp 10
juta.
PERINTAH WAKAF DALAM ISLAM
Ø Manfaat Wakaf
1. Ibadah
2. Tanggap bencana
3. Beasiswa
4. Pengentasan kemiskinan
|=ÏGä.
öNä3ø‹n=tæ
#sŒÎ)
uŽ|Øym
ãNä.y‰tnr&
ßNöqyJø9$#
bÎ)
x8ts?
#·Žöyz
èp§‹Ï¹uqø9$#
Ç`÷ƒy‰Ï9ºuqù=Ï9
tûüÎ/tø%F{$#ur
Å$rã÷èyJø9$$Î/
(
$ˆ)ym
’n?tã
tûüÉ)FßJø9$#
ÇÊÑÉÈ
Ø Dalam ayat tsb, kata al-khayr diartikan “harta benda”. Oki, perintah
melakukan al-khayr berarti
perintah untuk melakukan ibadah bendawi.
Ø Interpretasi: Taqiy al-Din Abi Bakr Ibn Muhammad al-Husaini
al-Dimasqi menafsirkan bahwa perintah untuk berbuat baik (al-khayr)
berarti perintah untuk melakukan waqaf (Kifayat al- Akhyar 319)
Ø Harta yang
diinfaqkan akan berlipat menjadi 700 kali.
NOMENKLATUR WAKAF DALAM HADIS & FIQH TIDAK SERAGAM
§ Hadis
Dalam Hadis: shadaqah jariyah dan al-habs (harta
yang pokoknya dikelola dan hasilnya didermakan)
§ Fiqh
1. Al-Syarkhasi
(al-Mabsuth), wakaf Kitab al-Waqf
2. Imam
Malik Kitab al-Habs wa
al- Shadaqat
3. Imam
al-Syafi’i (al-Umm) al-Ahbas
4. Imam Bukhari
menyertakan hadis-hadis wakaf dalam Kitab al-Washaya
§ Secara teknis wakaf disebut al-ahbas, shadaqat jariyat, dan al-waqf.
§ Secara normatif ideologis dan sosiologis perbedaan
nomenklatur wakaf tersebut dapat dibenarkan, karena landasan normatif
perwakafan secara ekplisit tidak terdapat dalam al-Qur’an atau al-Sunnah dan
kondisi masyarakat pada waktu itu menuntut akan adanya hal tersebut.
PENGATURAN WAKAF DI INDONESIA
Ø Periode
Pengaturan Wakaf
Sebelum
PP 28/1977-sejak PP 28/1977 hingga KHI-setelah UU
41/2004.
Ø Penelitian
Prof. Rahmat Djatnika: wakaf
sudah dipraktekkan sebelum Masa kolonial (abad 15).
Ø Praktek wakaf
didorong oleh motivasi agama yang kuat.
Ø Sering menjadi
penghambat bagi penataan wakaf secara adminsitratif.
A. Sebelum
berlakunya PP 28/1977
1. Masa Kolonial
Pengaturan
scr administratif dilakukan sejak masa kolonial tahun 1905. Bbrp kali diadakan
perbaikan krn keberatan umat Islam.
a. Surat Edaran
Sekretaris Government No 435 termuat dalam Bijblade No 6195/1905.
·
SE tersebut berlku di seluruh Jawa-Madura kecuali Surakarta-Yogya.
·
Inti SE: (1) para Bupati mendaftar wakaf tanah umat Islam
(2) untuk berwakaf harus ijin Bupati.
·
SE tidak efektif krn umat Islam menolak:
krn keharusan
ijin untuk wakaf dan penilaian bhw SE mrpk campur tangan
kolonial
thd urusan umat Islam.
b. SE Sekretaris
Government No 1361/ab termuat dalam Bijblade No 12573/1931.
·
SE ini lebih lunak: (1) Bupati ckp mendaftar asal tanah
(wakaf atau bkn) (2) ijin wakaf diperingan, yaitu Bupati hny menilai
aspek tempat dan maksudnya. Nmn ttp harus didaftar.
·
SE tidak efektif krn umat Islam menolak: wakaf mrpk tindakan hukum
privat. Padahal sahnya hukum privat tdk perlu ijin pemerintah.
c. SE No 3088/A
Tahun 1934 termuat dalam Bijblade No 13390: penyelesaian sengketa tanah wakaf
oleh Bupati apbl diminta pihak-pihak yg bersengketa.
d.
Penolakan umat Islam memaksa revisi SE No 1273/A dalam Bijblade
1935 No 13480.
SE terakhir ini mengandung perubahan:
wakaf tdk perlu ijin, cukup memberitahu
Bupati
2. Pasca
Kemerdekaan
Ø Stl merdeka
diiringi pembentukan Depag th 1946, wakaf mjd wewenang Depag berdasar: PP
No 33/1949 jo PP No 8/1950 jo Permenag No 9/1952.
Ø Substansi
peraturan: Depag berkwjb menyelidiki,
mendaftar, mengawasi wakaf (tdk bergerak). Kewenangan Depag dlm soal wakaf tdk
mengintervensi urusan umat.
Ø Kmdn berdasar
SE Depag No 5/D/1956 urusan wakaf diserahkan ke KUA dg tugas membantu orang yg
akan wakaf melalui prosedur yg ada:
1.
Wakif membuat pernyataan.
2.
Ada pernyataan kpd nazhir
3.
KUA mbrth kehendak wakaf kpd
Bupati utk disahkan.
4.
Ikrar wakaf
5.
Pendaftaran wakaf
Ø Sampai awal
1960 peraturan perwakafan msh mengacu aturan kolonial, ttp ada perbedaan
pengurusan. Masa kolonial mjd kompetensi Bupati, masa kemerdekaan mjd
kompetensi KUA.
Ø Pasca
kemerdekaan wakaf berkembang. Peraturan kolonial tdk memadai lagi. Mk dlm
pembaharuan Hk Agraria, wakaf mendapat perhatian khusus. Terbukti dg lahirnya
UUPA No 5/1960.
Ø Bab F Pasal 49
UUPA No 5/1960:
a.
Hak milik tanah badan-badan keagamaan & sosial sepanjang
dipergunakan utk usaha-usaha bidang keagamaan & sosial diakui dan
dilindungi. Badan-badan tersebut dijamin pula utk memperoleh tanah yg cukup
untuk bangunan & usahanya dalam bidang keagamaan & sosial.
b.
Untuk keperluan peribadatan & keperluan suci lainnya, sbg
dimaksud dlm pasal 14 dapat diberikan tanah yg dikuasai langsung oleh negara dg
hak pakai.
c.
Perwakafan tanah milik
dilindungi & diatur oleh pemerintah.
Ø Setelah berlakunya PP 28/1977 Muncul
beberapa peraturan pelaksanaannya:
1.
Permendagri No 6/1977 ttg Pendaftaran Tanah Milik
2.
Permenag No 1/1978 ttg Peraturan Pelaksanaan PP No 28/1977
3.
Instruksi Menag & Mendagri No 1/1978 ttg Pelaksanaan PP No
28/1977
4.
Kepmenag No 73/1978 ttg endelegasian Wewenang kpd KAnwil Depag utk mengangkat/memberhentikan
Kepala KUA sbg PPAIW
5.
Per Dirjen Bimas Islam No Kep/D/75/1979 ttg formulir & Pedoman
Pelaks PP No 28/1977
6.
KHI
7.
UU 41/2004
8. PP 42/2006
Ø PP hanya
mengatur perwakafan tanah, & tdk mengatur selainnya.
Ø KHI banyak
kesamaan dg rumusan PP No 28/1977. Perbedaan mencolok terletak pd ruang
lingkupnya. Wakaf dlm KHI bukan hny tanah, ttp juga menyangkut benda
bergerak (uang).
Ø Setelah berlakunya UU 41/2004 Banyak inovasi:
1.
Wakaf temporer
2.
Perluasan objek
wakaf (HAKI, hak sewa, dsb)
3.
Pembentukan BWI
TATA CARA PERWAKAFAN
Tujuan Pengaturan Perwakafan dimaksudkan untuk ketertiban sebagaimana ditentukan dalam UU 41/2004 jo PP
Nomor 28/1977.
A. KEWAJIBAN CALON
WAKIF
Calon wakif datang sendiri ke PPAIW. Bila tidak bisa karena sakit / tua, ia dapat membuat ikrar secara tertulis dengan
persetujuan Kandepag yang mewilayahi letak tanah dihadapan 2 saksi (ikrar
kemudian dibacakan pada nadhir di hadapan PPAIW).
B.
DOKUMEN
Dokumen yang harus disiapkan:
1.
Sertifikat hak milik atau tanda bukti pemilikan tanah yang lain, seperti
surat IPEDA, girik, petuk, ketitir;
2.
Surat keterangan dari Kades diperkuat Camat yang menerangkan
kebenaran pemilikan tanah dan tidak ada sengketa kepemilikan itu;
3.
Surat keterangan pendaftaran tanah;
4. Izin bupati cq.
Kasub Direktorat Agraria
C. TUGAS PPAIW
1.
PPAIW meneliti surat-surat dan syarat tersebut.
Apakah sudah memenuhi syarat pelepasan hak atas tanah;
2.
Meneliti saksi-saksi;
3. Mengesahkan
susunan Nadhir
D. PELAKSANAAN
·
Di hadapan PPAIW dan 2 orang Saksi, Wakif Melakukan IKRAR wakaf
ditujukan kepada Nadhir;
·
Ikrar harus jelas dan tegas (diucapkan) dan dituangkan dalam bentuk
tertulis;
·
Bagi Wakif yang tidak bisa bicara (bisu), ikrar dilakukan dengan
isyarat kemudian mengisi formulir;
·
Setelah ikrar selesai, semua pihak menanda-tangani blangko ikrar
wakaf.
·
Pasal 9 PP Nomor 28/1977 mengharuskan wakaf secara tertulis untuk:
(a)
berbagai persoalan, dan (b) untuk penyelesaian sengketa.
E. AKTA IKRAR
WAKAF
PPAIW membuat
Akta Ikrar Wakaf (AIW) rangkap 3 dibubuhi materai, memuat:
a.
Identitas Wakif
b. Identitas
Nadhir
c. Ket peruntukan harta wakaf
d. Jangka waktu
·
Dalam waktu selambat-lambatnya 1 bulan, AIW harus disampaikan pada
pihak-pihak yang
bersangkutan.
·
AIW menurut PP Nomor 10/1961 Untuk memenuhi asas Publisitas dan Spesialitas.
·
PUBLISITAS,
asas yang yang mengharuskan nama, status
hak dan beban-beban yang ada di atas sebidang tanah terdaftar dalam daftar
umum, yaitu daftar yang terbuka untuk umum.
·
SPESIALITAS,
asas yang menghendaki letak, luas dan batas-batas tanah tampak jelas (bagi
siapapun juga). Maka sebidang tanah harus diukur, dipetakan dan dihitung
luasnya.
WAKAF BENDA BERGERAK
A. TATA CARA WAKAF
UANG
§ Uang sdh
bergeser fungsi, dr sekedar alat tukar.
§ sesuatu yg
diperjualbelikan (komoditas).
B. Pendapat ttg
Wakaf Uang
1.
Fuqaha’ klasik:
a.
Az-Zuhri: hukum wakaf dinar adl mubah.
b.
Hanafiah: membolehkan wakaf dinar & dirham atas dsr istihsan bi al-’urf.
c.
Sebagian Syafi’iyah yg diceritakan Abu Tsaur yg membolehkan wakaf dinar &
dirham.
2.
KHI Pasal 215 (4): “BW adl sgl benda, baik benda bergrk maupun tdk
bergrk yg memiliki daya tahan yg tdk hny sekali pakai & bernilai menurut
ajaran Islam”.
3.
Fatwa MUI 11 Mei 2002: merujuk pd point 1 di atas.
4. UU 41/2004
pasal 16 (3) Benda bergrk sbgmn dimaksud pd ayat (1) huruf b adl harta benda yg tdk bisa
habis krn dikonsumsi, meliputi: uang, logam mulia, surat berharga, kendaraan, HAKI, hak sewa,
& benda bergrk
lain sesuai dg ketentuan syariah & peraturan per UU yg berlaku.
C. Ketentuan-ketentuan
a.
Wakif wjb hadir ke LKS-PWU utk ikrar, bl berhalangan dpt mewklkan;
b.
Wakif wjb mjlsk asal usul uang yg akan diwakafkan;
c.
Wakif wjb myrhk Scr tunai uang yg akan diwakafkan;
d.
Wakif wjb mengisi form wakaf yg Berfungsi sbg AIW;
e.
LKS-PWU menerbitkan SWU disrhk
wakif & nazhir.
D. Pengaturan
Wakaf uang
1.
Pasal 28 UU 41/2004: Wakif dapat mewakafkan benda bergrk berupa uang mll LKS
yg ditunjuk oleh Menteri.
2.
Pasal 29
(1) Wakaf benda
bergrk berupa uang sbgmn dimaksud dlm Pasal 28 dilaksanakan oleh Wakif dg
pernyataan kehendak Wakif yg dilakukan scr tertulis.
(2) Wakaf benda
bergrk berupa uang sbgmn dimaksud pd ayat (1) diterbitkan dlm bentuk sertifikat
wakaf uang.
(3) SWU sbgmn
dimaksud pd ayat (2) diterbitkan & disampaikan oleh LKS kepada Wakif &
Nazhir sbg bukti penyerahan harta BW.
PEJABAT PEMBUAT AKTA IKRAR WAKAF (PPAIW)
A. DASAR HUKUM
·
Peraturan tentang wakaf bersifat memperbarui secara total sistem
perwakafan sesuai politik hukum agraria nasional.
·
Dgn adanya pembaruan, wakaf tidak cukup hanya memenuhi
unsur-unsurnya saja. Tetapi krn wakaf menurut Hukum Agraria Nasional telah
dianggap sbg institusi keagamaan yg formal, shg wakaf tidak hanya tunduk
pada hukum agama saja, ttp juga harus tunduk pd POLHUKNAS.
·
Sebagai konsekwensinya, wakaf harus diucapkan (diikrarkan) di depan
PPAIW.
·
Meskipun eksistensi PPAIW menurut fiqh tidak diatur,
tetapi apabila dirujuk dari perspektif metodologi hukum Islam, maka
keberadaannya dibutuhkan & sesuai dg tujuan perwakafan.
·
Eksistensi PPAIW menunjukkan terjadinya pergeseran norma; yg
sebelumnya wakaf cukup dilakukan secara informal, kini sudah tidak memadai lagi.
·
Dasar hukum PPAIW:
a.
PP No 10/1961 ttg Pendaftaran Tanah pasal 19
b.
LNRI No 28/1961
c.
Tambahan LNRI 2171
d.
PP No 28/1977 pasal 9 (1 dan 2)
e.
PP No 1/1991 ttg KHI
f.
UU No 41/2004 pasal 1 (6) dan 17
g. PP No 42/2006
·
PP 28/1977, ps 9 (1-2)
“Setiap
perjanjian yg bermaksud memindahkan hak atas tanah,
memberikan
sesuatu hak baru atas tanah, menggadaikan tanah utk meminjamkan uang dg hak
atas tanah sbg tanggungan, harus dibuktikan dg suatu akta yg dibuat oleh &
dihadapan pejabat yg ditunjuk Menteri Agraria”.
·
Wakaf merupakan bentuk pengalihan kepemilikan tanah dari wakif
kepada nadhir;
·
Wakaf sbg institusi keagamaan, maka yg dimaksud oleh PP 28/1977 ps
9 (1-2) adalah Menteri Agama;
·
PPAIW adl pejabat resmi yg diangkat pemerintah berdasarkan peraturan
perundang-undangan yg berlaku;
·
Produknya adl Akta Ikrar Wakaf (AIW) yg mempunyai kedudukan sbg
Akta Otentik. PPAIW sbg ujung tombak penanganan wakaf.
·
PEJABAT YG MENGANGKAT & MEMBERHENTIKAN PPAIW:
a.
PPAIW diangkat & Diberhentikan
Menag (PP 28/1977 jo UU 41/2004 ps 1)
b.
Menag mendelegasikan ke Kakanwil Depag Prop (Kep Menag 73/1978)
c.
Didelegasikan ke Kabid Urais yg untuk & a.n. Kakanwil
mengangkat PPAIW
·
PPAIW dlm perundang-undangan Lebih
dominan menjalankan fungsi administrasi daripada manajemen (pengawasan).
KHI
1.
Menerima ikrar, menyerahkan ke nadhir & mengawasi kelestarian
BW (ps 215 [6])
2.
Menerima laporan periodik dr nadhir (ps 220 [2])
3.
Mengangkat &memberhentikan nadhir (ps 221)
4.
Bersama MUI menentukan imbalan bagi nadhir (ps 222)
5.
Mendaftarkan BW kpd instansi berwenang (ps 224)
6.
Memberikan persetujuan perubahan BW (ps 225)
7.
Bersama PA & MUI mengawasi tugas nadhir (ps 227)
UU 41/2004
PPAIW berfungsi
sbg:
a.
Menerima bukti kepemilikan BW (ps 19)
b.
Menyaksikan ikrar wakaf (ps 17 [1])
c.
Pejabat yg berwenang membuat AIW (ps 1 [6])
d.
Mendaftarkan BW kpd instansi berwenang maks 7 hari sejak AIW
ditanda-tangani (ps 32)
e.
Mendaftarkan BW yg akan ditukar/diubah (ps 36)
f. Pengawasan
& pembinaan dilakukan Menteri, BWI dg pertimbangan MUI (ps 227)
PPAIW berfungsi
administratif
Friedman: substansi-kultur-Institusi PPAIW
FASE
PELEMBAGAAN HI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar