Seorang teman bercerita, bahwa tetangganya yang menjadi saksi
sebuah kasus pembunuhan diancam oleh oknum yang tak jelas identitasnya.
Pengancam minta agar sang saksi memberikan pernyataan palsu di depan
pengadilan. Akhirnya, karena ancaman dan teror yang bikin resah keluarganya
sang saksi pun memenuhi tuntutan pengancam.
Jika kita mau terbuka, ternyata dalam kehidupan ini dipenuhi oleh
banyak ancaman-ancaman yang adakalanya disadari dan tidak disadari, wajar dan janggal,
dan menakutkan dan biasa saja.
Mereka yang beragama diancam dengan neraka, jika dalam hidup ini
tidak berbuat baik dan menjalankan perintah agama. Para buruh diancam akan di
PHK jika bekerja tidak sesuai prosedur dan banyak cakap. Untuk minta naik gaji
pun akhirnya dilakukan dengan was-was.
Pada masa orba, hanya sedikit orang yang berani mengkritisi
pemerintah. Orang-orang diancam dengan kematian, diasingkan, dan disingkirkan.
PNS dipaksa masuk partai pemerintah walaupun hati tak berminat, ancaman akan
diberhentikan. PKI dan para loyalisnya juga diancam, bahkan akhirnya ancaman
untuk PKI dilegalkan dengan UU.
Dalam kehidupan bernegara, rakyat juga di ancam dengan aturan-aturan.
Jika melakukan ini, tidak mematuhi itu akan dihukum mati, dipenjara, dikurung,
atau dikenai denda. Wajar, hak negara memang untuk mengancam dengan aturannya
agar terselenggara ketertiban, demi kebaikan bersama.
Sebuah ancaman akan menjadi ancaman jika yang mengancam lebih
tinggi dan berkuasa dari yang di ancam. Misalnya, Jika ancaman itu datang dari
orang yang lebih rendah dan tidak punya kuasa dari saya, maka ancaman itu tak
ada artinya sama sekali, tak akan membuat saya gentar begitu mendengarnya.
Maka sudah menjadi hukum alam, bahwa yang kuat mengancam yang
lemah, yang kaya mengancam yang miskin, yang berkuasa mengancam yang tidak
berkuasa. Yang tidak wajar, jika ancaman itu datang dari mereka yang tidak
punya hak untuk mengancam. Jika yang berkuasa takut ketika diancam oleh yang
lemah maka berarti yang berkuasa tidak tahu diri.
Contoh, kasus penembakan terhadap polisi yang terjadi beberapa
waktu lalu. Kejadian tersebut bisa dibilang sebagai sebuah ancaman. Ancaman
agar polisi tidak ikut campur dalam urusan tertentu. Sehingga banyak aparat
polisi yang ketakutan, sampai muncul ide agar sepulang kerja polisi tidak memakai
baju dinas. Takutnya sejumlah aparat polisi tersebut menunjukkan bahwa mereka
tidak tahu diri.
Padahal polisi itu berkuasa. Kekuasaannya diberikan oleh negara
yang mandatnya berasal dari rakyat. Jika ada yang bilang, polisi itu juga manusia,
maka wajar jika takut. Tapi bukan itu soalnya, polisi ketakutan menunjukkan
bahwa ada yang tidak beres dalam lalu lintas penyelenggaraan negara.
Bayangkan jika penegak hukum yang bertugas menjaga ketertiban dan
keutuhan negara takut pada ancaman pembuat onar, maka siapa lagi yang akan kita
harapkan menjaga ketertiban dan menegakkan keadilan dalam bernegara.
Bentuk negara yang dicita-citakan oleh the founding father
dan the founding mother adalah negara yang berjalan secara demokratis
dan menjunjung keadilan. Dalam artian semua orang berkedudukan sama, mempunyai
hak, dan kewajiban yang sama. Tidak ada orang yang istimewa, tidak juga rendah,
tidak ada priyayi dan tidak juga budak. Semua dari warga negara sama rata, sama
derajat.
Dengan itu, hanya negara dengan mandat dari rakyat yang berhak
mengancam dan ancamannya menjadi ancaman. Ancaman selain dari negara, dengan
sendirinya tidak akan menjadi ancaman. Negara lah yang berkewajiban mengatasi
segala ancaman yang datang dari selain darinya. Pokoknya, negara itu harus
mampu membuat masyarakat hidup dalam keadaan damai, tidak di hantui ketakutan.
Tetapi negara ini masih jauh dari cita-cita ideal negara demokratis
dan berkeadilan. Sampai saat ini masih
banyak saksi yang takut memberi keterangan di muka sidang karena diancam, buruh
takut menuntut majikannya karena diancam, orang awam takut pada ancaman orang
licik, dan lain sebagainya.
Penyebabnya adalah karena masih ada dalam negara ini kuasa
terlarang yang menyaingi negara, bahkan lebih berkuasa dari negara. Dan
nampaknya, aparatur negara banyak yang tak tahu diri, atau malah dengan
jabatannya juga ikut menjadi pengancam rakyat. Betapa kacaunya negara ini jika
sekiranya hal tersebut benar-benar telah membudaya.
Kita berharap pada negara dan aparaturnya yang memperoleh mandat
kekuasaan dari rakyat agar menjalankan amanat yang di percayakan oleh rakyat.
Kita mengajak rakyat di pemilu nanti untuk tidak memilih mereka yang suka
mengancam rakyat, suka pamer diri, berlagak paling hebat, dan berkuasa.
Kita juga mengajak rakyat untuk tidak takut pada ancaman siapapun
kecuali ancaman dari negara. Rakyat punya pelindung. Jika dirasa pelindung yang
seharusnya melindungi tidak bisa melindungi maka rakyat harus melakukan
reformasi pada pelindung yang tak tahu diri. Ingat bahwa suara rakyat adalah
suara Tuhan (vox populi vox dei).
Teuku Saifullah, pengamat perkembangan moral dan etika masyarakat. (dimuat di Batam
Pos pada Oktober 2013)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar