Jurnal Nasional | Minggu, 26 May 2013
Ratu Selvi Agnesia
Upacara Mappalili di Bugis saat ini cenderung hanya menjadi
tontonan objek wisata dan mulai berkurang pamor kebersamaan dan
kesakralannya.
POTRET masyarakat Bugis adalah masyarakat yang lentur dan mampu menjalani proses perubahan terus-menerus sesuai zaman. Banyak
unsur kebudayaan luar yang masuk, namun unsur serapan tersebut diolah
apik sehingga baik orang luar ataupun orang Bugis sendiri menganggapnya
sebagai suatu entitas budaya yang sudah menyatu, atau merupakan tradisi
yang utuh dan padu. Ritual Mappalili salah satunya.
Dari buku "Manusia Bugis" karya Antropolog Prancis, Christian Pelras, yang meneliti selama 30 tahun tentang Bugis, banyak hal menarik yang didapatkan sebagai gambaran Bugis bangsa yang terbuka, fleksibel, dan tetap menghargai kebudayaan sebagai identitas masyarakat Bugis. Salah satunya dalam pertanian, terdapat mitos Sangiang Serri dalam kebudayaan Bugis membuktikan pentingnya peran padi dalam kehidupan orang Bugis.
Penanaman padi dilaksakan sesuai isi naskah pertanian Bugis sebagai warisan leluhur (lontara' palaong nruma atau a'laong nrumanggeng) berisikan seluruh khazanah pengetahuan pertanian yang berasal dari para nenek moyang (to-riolo). Di antaranya yang paling penting dalam naskah pertanian Bugis adalah penentuan waktu tanam melalui pengamatan fenomena alam dan rasi bintang pada setiap manusia tanam.
Dalam teknik pertanian. Para petani tidak boleh membajak sawah sebelum penyelenggaraan upacara, baik upacara bersama maupun perorangan. Jika tiba masa panen, dimulai upacara panen pertama "Mappalili" yang dipimpin oleh Bissu, pendeta agama leluhur Bugis "To-Lotang". Pada zaman Bugis klasik, Bissu yang termasuk dalam gender Calabai (laki-laki yang berperan jadi perempuan/perempuan palsu) dianggap sebagai penghubung antara manusia dan dewa melalui ritual, sehingga Bissu yang diambil dari kata Bessi (dalam bahasa Bugis) yang artinya "bersih" harus menjauhi hal-hal yang bersifat duniawi. Hanya sayang sejak Islam berkembang pesat di Bugis, regenerasi para Bissu semakin berkurang.
Mappalili mempunyai arti menjauhkan diri dari hal-hal negatif. Upacara Mappalili, salah satu contohnya yang dilaksanakan pada November 2012 lalu di Bola Arajang (tempat disimpannya pusaka turun-menurun oleh Bissu) Kabupaten Pangkep, Kecamatan Segeri, Sulawesi Selatan, memberikan pertunjukan ritual yang mistis dan menarik.
Pilihan bulan November diyakini para Bissu dan masyarakat Bugis karena menunjukkan 9 oppo dab 9 tematte, atau parallawi, yaitu seimbang antara yang lewat dan yang akan datang sehingga sudah waktunya dilakukan ritual yang dilakukan bersama masyarakat setempat.
Prosesi Mappalili
Ritual Mappalili berlangsung selama tiga hari bersama masyarakat. Menurut S. Mujib, seorang pengamat agrikultur yang sering terlibat dalam upacara ini, tahapan tiga hari tersebut: hari pertama adalah "attedu arajang" atau membangunkan benda pusaka kerajaan, hari kedua "arajang ri'alu" mengarak keliling benda kerajaan, hari ketiga merupakan puncak dari acara Mapplili yaitu "Majjori" atau membajak sawah.
Dalam acara puncak tersebut, kemeriahan dan kesakralan bercampur. Di antara masyarakat, satu sama lain saling menyiramkan air dengan suka cita. Para Bissu yang memakai pakaian kerajaan lengkap juga melakukan "Maggiri" yaitu pertunjukan kekebalan seorang Bissu yang tidak tembus oleh benda tajam. Pertunjukan ini paling ditunggu-tunggu, doa, nyanyian, genderang tetabuhan, para Bissu yang mengelilingi api dan rempak makanan, juga menusukkan badik ke tubuhnya yang ajaibnya tidak mengalami luka sama sekali.
Bissu yang semakin tersingkir
Mappalili saat ini cenderung hanya menjadi tontonan objek wisata dan mulai berkurang pamor kebersamaan dan kesakralannya. Dahulu para komunitas Bissu yang melaksanakan ritual ini harus berjumlah 40 orang, saat ini tak lebih dari 20 orang. Padahal, Mappalili menurut para Bissu mengajajarkan tentang kehidupan yang positif, kebersamaan, dan juga musyawarah. Dengan Mappalili, petani membajak dan menanami sawah mereka secara bersamaan. Semua itu dilakukan agar terhindar dari "bala" serangan hama atau kerusakan tanaman terhadap hasil pertanian dari hal-hal yangd tidak diinginkan.
Menurut Pelras dalam "Manusia Bugis", transisi masyarakat Bugis dari era tradisional ke modern melewati proses panjang dan kompleks: Pertama, ada warisan masa lalu yang masih tetap hidup. Kedua, ada pula yang perlahan-lahan mengalami proses transformasi yang lambat sejak abad sebelumnya lalu menjelma menjadi sesuatu yang baru dan kini bagian dari kebudayaan Bugis modern. Ketiga, ada pula unsur-unsur budaya zaman lampau yang sudah lenyap sama sekali. Maka untuk masyarakat Bugis jangan sampai para Bissu dan upacara Mappalili ini suatau saat nanti akan lenyap sama sekali karena ini merupakan bagian dari identitas Bugis. rselsia@jurnas.com
Dari buku "Manusia Bugis" karya Antropolog Prancis, Christian Pelras, yang meneliti selama 30 tahun tentang Bugis, banyak hal menarik yang didapatkan sebagai gambaran Bugis bangsa yang terbuka, fleksibel, dan tetap menghargai kebudayaan sebagai identitas masyarakat Bugis. Salah satunya dalam pertanian, terdapat mitos Sangiang Serri dalam kebudayaan Bugis membuktikan pentingnya peran padi dalam kehidupan orang Bugis.
Penanaman padi dilaksakan sesuai isi naskah pertanian Bugis sebagai warisan leluhur (lontara' palaong nruma atau a'laong nrumanggeng) berisikan seluruh khazanah pengetahuan pertanian yang berasal dari para nenek moyang (to-riolo). Di antaranya yang paling penting dalam naskah pertanian Bugis adalah penentuan waktu tanam melalui pengamatan fenomena alam dan rasi bintang pada setiap manusia tanam.
Dalam teknik pertanian. Para petani tidak boleh membajak sawah sebelum penyelenggaraan upacara, baik upacara bersama maupun perorangan. Jika tiba masa panen, dimulai upacara panen pertama "Mappalili" yang dipimpin oleh Bissu, pendeta agama leluhur Bugis "To-Lotang". Pada zaman Bugis klasik, Bissu yang termasuk dalam gender Calabai (laki-laki yang berperan jadi perempuan/perempuan palsu) dianggap sebagai penghubung antara manusia dan dewa melalui ritual, sehingga Bissu yang diambil dari kata Bessi (dalam bahasa Bugis) yang artinya "bersih" harus menjauhi hal-hal yang bersifat duniawi. Hanya sayang sejak Islam berkembang pesat di Bugis, regenerasi para Bissu semakin berkurang.
Mappalili mempunyai arti menjauhkan diri dari hal-hal negatif. Upacara Mappalili, salah satu contohnya yang dilaksanakan pada November 2012 lalu di Bola Arajang (tempat disimpannya pusaka turun-menurun oleh Bissu) Kabupaten Pangkep, Kecamatan Segeri, Sulawesi Selatan, memberikan pertunjukan ritual yang mistis dan menarik.
Pilihan bulan November diyakini para Bissu dan masyarakat Bugis karena menunjukkan 9 oppo dab 9 tematte, atau parallawi, yaitu seimbang antara yang lewat dan yang akan datang sehingga sudah waktunya dilakukan ritual yang dilakukan bersama masyarakat setempat.
Prosesi Mappalili
Ritual Mappalili berlangsung selama tiga hari bersama masyarakat. Menurut S. Mujib, seorang pengamat agrikultur yang sering terlibat dalam upacara ini, tahapan tiga hari tersebut: hari pertama adalah "attedu arajang" atau membangunkan benda pusaka kerajaan, hari kedua "arajang ri'alu" mengarak keliling benda kerajaan, hari ketiga merupakan puncak dari acara Mapplili yaitu "Majjori" atau membajak sawah.
Dalam acara puncak tersebut, kemeriahan dan kesakralan bercampur. Di antara masyarakat, satu sama lain saling menyiramkan air dengan suka cita. Para Bissu yang memakai pakaian kerajaan lengkap juga melakukan "Maggiri" yaitu pertunjukan kekebalan seorang Bissu yang tidak tembus oleh benda tajam. Pertunjukan ini paling ditunggu-tunggu, doa, nyanyian, genderang tetabuhan, para Bissu yang mengelilingi api dan rempak makanan, juga menusukkan badik ke tubuhnya yang ajaibnya tidak mengalami luka sama sekali.
Bissu yang semakin tersingkir
Mappalili saat ini cenderung hanya menjadi tontonan objek wisata dan mulai berkurang pamor kebersamaan dan kesakralannya. Dahulu para komunitas Bissu yang melaksanakan ritual ini harus berjumlah 40 orang, saat ini tak lebih dari 20 orang. Padahal, Mappalili menurut para Bissu mengajajarkan tentang kehidupan yang positif, kebersamaan, dan juga musyawarah. Dengan Mappalili, petani membajak dan menanami sawah mereka secara bersamaan. Semua itu dilakukan agar terhindar dari "bala" serangan hama atau kerusakan tanaman terhadap hasil pertanian dari hal-hal yangd tidak diinginkan.
Menurut Pelras dalam "Manusia Bugis", transisi masyarakat Bugis dari era tradisional ke modern melewati proses panjang dan kompleks: Pertama, ada warisan masa lalu yang masih tetap hidup. Kedua, ada pula yang perlahan-lahan mengalami proses transformasi yang lambat sejak abad sebelumnya lalu menjelma menjadi sesuatu yang baru dan kini bagian dari kebudayaan Bugis modern. Ketiga, ada pula unsur-unsur budaya zaman lampau yang sudah lenyap sama sekali. Maka untuk masyarakat Bugis jangan sampai para Bissu dan upacara Mappalili ini suatau saat nanti akan lenyap sama sekali karena ini merupakan bagian dari identitas Bugis. rselsia@jurnas.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar