Pengurus HMI

Kami akademisi muda mencita-citakan kemajuan,kesejahtraan,dan keadilan terwujud di Tanah Air Indonesia tercinta. YAKin Usaha SAmpai.

Kader HMI

Kader HMI anti Korupsi, Nepotisme, dan Kolusi.

Logo HMI

HMI merupakan Organisasi Kemahasiswaan, Organisasi Pengkaderan dan Perjuangan yang didirikan pada 5 Februari 1947 M / 14 Rabiul Awal 1366 H. Dengan tujuan Terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah Subhanahu wata'ala.

Sebagian besar Tokoh berpengaruh di Indonesia berlatar HMI

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Rabu, 17 Juli 2013

Malu

foto: inilah.com
Banyak yang bisa dipujikan dari negeri dan bangsa Jepang. Ekonominya, teknologinya, tradisinya, ethos kerjanya, kebersihannya, kulinernya, tata busananya, filmnya, berasnya, sastra dan teaternya, solidaritas kelompoknya, penghormatannya kepada senior, dan lain sebagainya. Banyak orang Indonesia yang pernah tinggal di Jepang sering memujikan, yang tak bisa dilupakan dari Jepang adalah budaya "malu"-nya.

Berbeda dengan pemahaman tentang malu di Indonesia, budaya malu di Jepang adalah sebuah pandangan hidup. Falsafah hidup yang tidak hanya tergerak oleh rasa atau emosi, tapi sikap hidup yang mendasar. Budaya malu bagi orang Jepang adalah disiplin mendasar yang menentukan tindak tanduk orang Jepang. Budaya malu adalah kesadaran pada harga diri, tanggung jawab warga Jepang terhadap harkat bangsa.


Dengan memegang teguh budaya malu, orang Jepang menunjukkan bahwa mereka memiliki sikap jelas dan tegas di dalam hidup. Sikap dan pandangan hidup yang kokoh dalam menilai segala sesuatu, untuk mempertahankan karakter, kepribadian, bahkan reputasi orang Jepang. Dengan adanya budaya malu, orang Jepang menegaskan kehadiran di antara bangsa lain di dunia, bahwa mereka bukan hanya memiliki harga diri, tapi tahu harga diri mereka.


Karena terdorong rasa malu, tak sanggup menunjukkan diri sebagai bangsa Jepang yang sejati, mereka tidak segan "bunuh diri", kalau mereka kecewa terhadap dirinya. Di dalam pergaulan biasa, orang Jepang akan berpikir dua kali sebelum menerima hadiah dari orang lain. Apabila mereka merasa ‘tidak layak" menerima sebuah pemberian, dengan segala kerendahan hati mereka akan menolak.


Seorang Jepang tidak akan segan mengembalikan hadiah yang diberikan kepadanya, kalau ia merasa bahwa kelak ia tidak akan mampu membalas budi si pemberi hadiah dengan hadiah yang kualitas atau nilainya sama.


Seorang mahasiswa Indonesia sakit di Kyoto, Jepang. Ia dilarikan ke dokter dan terpaksa membayar sangat mahal karena biaya pengobatan di negeri sakura memang tinggi. Esoknya, teman-teman si mahasiswa berhasil mendaftarkan mahasiswa yang sakit itu ke institusi yang menanggung asuransi bagi mahasiswa asing yang sakit di Jepang. Setelah asuransi itu diperlihatkan kepada dokter, serta merta seluruh biaya sakit yang sudah dibayarkan dikembalikan lagi.


Hal yang sama juga pernah dialami suami-istri orang Indonesia yang mencoba melakukan proses bayi tabung di rumah sakit Universitas Kyoto. Sebagaimana umumnya proses bayi tabung, seluruh biaya harus sudah dibayar lunas ketika tindakan akan dilakukan. Tapi baru dua puluh persen berjalan, istri yang hendak melakukan bayi tabung mengalami gangguan pada hormonnya. Proses bayi tabung tidak bisa dilanjutkan. Galibnya, uang yang sudah dibayarkan, hangus. Tapi dokter yang memimpin proses bayi tabung itu mengembalikan seluruh uang yang sudah dibayarkan, sambil minta maaf dan nampak malu karena proses itu terpaksa dibatalkan.


Budaya malu orang Jepang bukan hanya sekadar "label kepribadian", yakni keunikan yang ditempelkan supaya terasa keren. Bukan juga slogan yang digembar-gemborkan untuk "menyombongkan" identitas. Tapi sudah merupakan praktek wajar sehari-hari, yang mungkin sulit dipahami oleh orang asing yang biasanya mengenal budaya malu yang bisa diartikan sebagai "malu-malu kucing" dan "tidak tahu malu".


Budaya malu orang Jepang adalah sikap hidup yang datang dari jiwa yang teguh, tandas, berani mengambil resiko, disiplin di dalam mengisi kehidupan. Budaya inilah yang tak sempat ditinggalkan "saudara tua" kita itu, walau mereka sempat mengacak-acak Indonesia selama dua tahun.


Bicara tentang budaya "malu" di Indonesia lain lagi ceritanya. Kita mengenal apa yang disebut malu-malu kucing. Malu tapi mau. Sebenarnya sangat mau tapi pura-pura tidak doyan, seakan-akan tidak butuh, padahal sebenarnya bersedia mengorbankan apa saja asal mendapatkan yang dimaui. Malu-malu kucing ini membuat banyak kita jadi suka berpura-pura. Akibatnya pergaulan penuh dengan kemunafikan, kebenaran selalu merupakan teka-teki yang susah payah diungkap sebelum muncul apa adanya.


Malu-malu kucing sering terasa sebagai penipuan atau penyamaran kerakusan yang berakhir dengan menyebalkan. Tapi sikap malu-malu kucing kadang dengan sengaja dipilih karena menjadikan yang melakukan "seksi" atau "genit".


Kita juga mengenal apa yang dimaksud dengan tidak tahu malu atau tidak bermalu. Ini juga sikap malu yang sangat menjengkelkan. Bagaimana tidak. Orang yang tidak tahu malu adalah orang yang sarafnya sudah putus. Ia tidak peduli lagi perasaan orang lain, bahkan mungkin juga perasaannya sendiri. Ia dapat berbuat semena-mena, sesukanya, tanpa takut sedikit pun sanksi orang lain, hukum, tata krama, adat istiadat, termasuk hati kecilnya sendiri.


Orang yang tidak bermalu akan jadi "manusia binatang". Ia dapat mendobrak, memberontak, bahkan menginjak-injak segala sesuatu tanpa merasakan itu sebagai sesuatu yang salah. Orang yang tidak bermalu adalah manusia asosial yang membuat ketertiban, kenyamanan kehidupan terganggu. Perilakunya ekstrem, cenderung merongrong atau mencederai orang lain. Ia jadi tokoh berbahaya, yang akan mengacaukan dan merusakkan segala tatanan yang hendak dibangun masyarakat beradab.


Jenis orang tak bermalu ini ada dua. Yang tidak bermalu karena tidak tahu, terapinya adalah pendidikan dan pergaulan yang sehat. Kedua, orang tak bermalu yang melakukan tindakannya secara sengaja. Ini jenis yang sampai harga matinya tidak bisa diapa-apakan lagi.


Akhirnya, kita sampai pada malu yang sebenarnya adalah pemalu. Keadaan ini terjadi pada orang yang rendah diri, kurang pede, ragu akan kemampuan diri, tidak siap sebagai pribadi di antara orang lain, atau selalu tertindas secara psikologis dan tak pernah nyaman di antara orang banyak.


Kini, lebih dari enam puluh tahun merdeka terkadang kita masih jadi pemalu, malu-malu kucing, atau bahkan tidak tahu malu. Sudah waktunya menukar semua itu dengan "budaya malu" yang kita ketahui dimiliki bangsa Jepang, namun baru sebatas kita kagumi. Kita tidak perlu malu untuk belajar ‘budaya malu‘ untuk memperkaya kebebasan dan kemerdekaan kita.
Putu Wijaya, http://www.jurnas.com/halaman/14/2013-07-17/256503
Readmore »»   Malu

Sabtu, 13 Juli 2013

Alarm Serius Nasib Generasi Penerus

sumber : http://arsip.gatra.com/majalah/artikel.php?pil=23&id=154539
Kuantitas dan variasi modus kejahatan seksual pada anak kian bikin cemas. Anak bukan lagi korban prostitusi, naik jadi mucikari. Perempuan dan anak tak hanya jadi korban pemerkosaan, kini pelaku. Sejumlah kalangan menobatkan situasi ini sebagai darurat nasional. Diperlukan gerakan nasional yang simultan untuk mencegah gelombang liar kejahatan seksual.

Latar belakang 11 siswi sekolah menengah korban prostitusi di Surabaya, tangkapan polisi sejak 8 Juni lalu, penting jadi renungan setiap keluarga. ''Rata-rata berasal dari kelurga broken home,'' kata Kompol Suparti, Kasubag Humas Polrestabes Surabaya, kepada Gatra. "Ada yang pernah diperkosa ayah tirinya." Ada yang ditinggal cerai orangtua. Kalaupun ayah dan ibunya masih bersama, hampir tiap hari berantem.


Pengalaman traumatik jadi korban kekerasan membawa efek berantai memicu kekerasan lanjutan. NA, 15 tahun, siswi kelas IX SMP, mucikari yang melacurkan teman-teman seusianya, sebelumnya juga korban kejahatan seksual. NA dijual AL, 19 tahun, dan CI, 21 tahun, kepada om-om hidung belang. "Dua orang itu dalam pengejaran,'' kata Suparti.


Setelah paham blantika pasar prostitusi anak bau kencur, sejak enam bulan silam, NA menggandeng teman-temannya, termasuk kakaknya, siswi SMK. NA merekrut 10 anak. Kecuali kakak NA yang sudah 19 tahun, korban lainnya di bawah 17 tahun. Dalam sepekan, NA bisa "mengacarakan" tiga hingga empat transaksi seksual. Dari fee tiap kencan, Rp 500.000 sampai Rp 1,5 juta, NA mengutip separuh.

Tak sulit bagi NA merekrut anak seumuran dia jadi pelacur. Cukup mangkal di tempat hiburan dan mal-mal di Surabaya. Dari tempat itu pula, NA memperoleh pelanggan. ''Para korban (rekrutan NA) juga pernah jadi korban pelecehan seksual,'' tutur Suparti. Pelaku pelecehan umumnya orang dekat. Kalau bukan kerabat, ya, pacar. "Ada yang sudah direnggut kegadisannya oleh mantan pacar,'' ujar Suparti. Hasil visum menunjukkan, hampir semua anak itu, saat terjun ke dunia prostitusi, sudah tidak perawan. ''Harusnya jadi pelajaran, kalau pacaran, jangan kebablasan,'' kata Suparti.

Latar belakang itu membuat mereka mudah digaet masuk dunia hitam. ''Pikir mereka, toh sudah tidak perawan lagi,'' Suparti menambahkan. Ibunda NA bekerja menjual nasi bungkus, dititipkan ke warung-warung. Ayahnya satpam. Sudah lima tahun keduanya bercerai.

Sang ibu shock ketika tahu aktivitas anaknya. NA selepas sekolah selalu pulang ke rumah. Sorenya baru pergi. Pulang malam. Saat ditanya dari mana, selalu dijawab, main dari teman. Ibunda salah satu anak buah NA juga terkejut. Suaminya sakit mendengar kabar ini. Nenek si korban spontan pingsan.

Edward Dewaruci, Direktur Surabaya Children Crisis Centre (SCCC), menyebut kasus ini fenomena gunung es. ''Masih banyak praktek serupa yang belum terungkap,'' katanya kepada Gatra. Indikasinya, kata Edward, terjadi peningkatan angka kekerasan terhadap anak. Sepanjang satu setengah tahun, dari medio 2011 sampai akhir 2012, SCCC menangani 10 kasus. Tapi, baru semester pertama 2013, SCCC sudah mengurus 12 kasus.

Padahal, itu terjadi di Surabaya, kota yang dinilai memiliki instrumen memadai perlindungan anak. Bagaimana kota lain? Sejak September 2011, Wali Kota Surabaya meneken Perda tentang Penyelenggaraan Perlindungan Anak. "Kota pahlawan" ini juga mendapat penghargaan Kota Layak Anak (KLA) 2011 dan 2012. Tahun ini dinominasikan memperoleh KLA Utama. Surabaya punya dua pondok sosial khusus anak dan shelter (rumah singgah) pemulihan anak pasca- trauma.

Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini, akan menyediakan tempat penampungan untuk membina NA dan anak buahnya. Risma sudah bertemu keluarga NA dan tiga korbannya. Mereka diketahui memiliki kemampuan akademik baik. "Ada yang juara kelas. Anak-anak ini bisa dibina jika serius menanganinya," kata Risma kepada pers, 17 Juni lalu. Risma mengaku berpengalaman menangani anak korban pelacuran. "Sudah ada hasilnya. Yang penting, mentalnya harus digembleng," Risma menegaskan.


Karena itu, meski berkomitmen membina, Risma mendukung jika anak-anak itu diberi sanksi. "Perlu diberi shock therapy hukuman agar mereka jera," tutur Risma. Risma dan Suparti juga tak percaya motif mereka karena kemiskinan. Sebab duit hasil jual tubuh itu lebih untuk komoditas sekunder gaya hidup: membeli BlackBerry, fashion, sampai dugem. Saat bertemu NA, Risma menyampaikan nasihat keras, "Lihatlah, banyak orang cacat di sekitar kita, tetapi mereka masih punya kehormatan."

***

Sejumlah pemangku kepentingan perlindungan anak memandang kondisi kejahatan seksual pada anak sudah sangat serius. Arist Merdeka Sirait, Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), dan Badriyah Fayumi, Ketua Komisi Pelindungan Anak Indonesia (KPAI), sama-sama menyebut situasi saat ini sudah darurat nasional kejahatan seksual pada anak.


Data Komnas PA menunjukkan, sejak 2010, jumlah kejahatan seksual anak meningkat 10% setiap tahun. Selain jumlahnya meningkat, pelakunya pun meluas. ''Pelakunya sudah tahap menakutkan. Bisa orangtua, abang kandung, abang tiri tiri, paman, guru reguler, guru spiritual, tetangga, kalangan intelektual, bahkan polisi,'' ujar Arist kepada Gatra.


Arist menilai kasus mucikari Surabaya itu sebagai modus baru. ''Bukan peristiwa baru, tapi modusnya baru,'' kata Arist. ''Anak-anak dieksploitasi menjadi katalisator mucikari besar,'' ia menambahkan. Ia yakin, NA terancam oleh sindikat mucikari besar. Arist pernah membuktikan hipotesis ini pada kasus serupa di Purwokerto, Jawa Tengah. ''Kita jangan menghukum anak yang sudah jadi korban. Itu tidak akan jadi efek jera. Dia merasa semua orang menghukum, padahal dia awalnya korban,'' ujar Arist.


Kejutan lain, kata Arist, dari 10 kasus, enam di antaranya masuk kategori incest, praktek kuno yang semestinya tidak ada lagi. Januari lalu, di Cakung, Jakarta, terungkap, Sunoto, 55 tahun, seorang pemulung, memerkosa putrinya, RI, 11 tahun, sampai meninggal karena tertular penyakit kelamin. Sunoto sejak umur 14 tahun berhubungan dengan pelacur. Terjerat seks bebas sejak usia anak, Sunoto menghabisi nyawa anaknya dengan menularkan penyakit kelamin lewat pemerkosaan.


Modus lain, menurut Arist, memakai bungkus agama. Anggota DPRD Sampang, Hasan Ahmad, memesan enam wanita di bawah umur dari dua mucikari penyedia ABG Surabaya. Saat ditangkap, April lalu, di sebuah hotel di Surabaya, Hasan sedang indehoy dengan dua siswi SMP.


Sebelum bersetubuh, Hasan selalu menggelar akad nikah siri di mobilnya, menghadirkan dua saksi dan penghulu. Agar halal, katanya. Selesai berhubungan intim, Hasan memberi tips Rp 2 juta. Selesailah urusan. "Itu yang membuat kita menilai ini sudah masuk tahap darurat nasional,'' ungkap Arist.


KPAI mencatat, kasus kekerasan seksual pada anak dari 10 polda pada periode 2010-2012 naik 20%-30% per tahun. "Kekerasan seksual persentasenya lebih banyak dibandingkan dengan kekerasan lain," kata Badriyah Fayumi kepada Gatra di rumahnya, Pondok Gede, Bekasi, Jawa Barat. Selain angkanya meningkat, sama dengan data Komnas PA, modusnya juga kian miris.


Badriyah mencatat, sebagian besar pelaku kekerasan seksual justru orang dekat, baik dari rumah, sekolah, maupun tempat bermain. "Lingkungan yang semestinya menjadi tempat yang ramah bagi anak justru menjadi paling berbahaya," kata alumnus UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, itu.


Psikolog Elly Risman, dalam diskusi di Gatra, Senin lalu, membuat ilustrasi, "Your family and my family under attack!'' Dalam kunjungan ke delapan provinsi belakangan ini, Elly menemukan banyak kasus lain yang lebih miris dibandingkan dengan yang tersiar di media. "Anak perempuan umur delapan tahun memerkosa anak laki-laki umur lima tahun juga ada," kata Ketua Yayasan Kita dan Buah Hati itu kepada Adistya Prabawati dari Gatra.


Tahun 2012, Indonesia memiliki lebih dari 88 juta penduduk usia anak: 0-18 tahun. "Dua kali lipat penduduk Korea Selatan," katanya. Tersebar di hampir 18.000 pulau. Hal ini rentan menimbulkan problem perlindungan anak. Catatan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPP) mirip dengan lembaga lain.


"Kekerasan seksual berkisar sepertiga dari jumlah kekerasan anak secara keseluruhan," kata Elvi Hendrani, Kepala Bagian Data dan Analisis Kebijakan Penanganan Kekerasan pada Anak Kementerian PP. "Ini mengkhawatirkan." Menurut Elvi, mucikari anak di Surabaya itu bukan kasus pertama. Pada 2007, di Tasikmalaya, Jawa Barat, anak-anak menjajakan teman sekolah. Di Batam, tahun 2009, anak menjual teman sekolah kepada para pelanggan asal Singapura. Di Batam tidak hanya sekolah biasa, juga sekolah unggulan bertaraf internasional.


Di Parepare, Sulawesi Selatan, dan Sintang, Kalimantan Barat, prostitusi anak juga parah. Sepanjang Pantai Sintang, di warung-sarung kopi, kata Elvi, anak-anak ditempatkan sebagai pelayan seksual. "Angkanya mencapai 500 orang," katanya. Dari data pengaduan, Elvi menyebutkan, terjadi peningkatan jumlah dan kulitas keparahan tiap tahun.


BKKBN mencatat terjadinya peningkatan aktivitas seksual kalangan remaja dengan merujuk pada survei demografi tingkat kelahiran. Data remaja melahirkan di perkotaan meningkat. Di pedesaan menurun, tapi dua kali lipat dari perkotaan. Dalam survei 2012, angka remaja melahirkan pada usia 15-19 tahun mencapai 40-48 orang per 1.000 wanita subur di perkotaan dan 60 per 1.000 untuk pedesaan.


Target tahun 2013, angka itu harus turun menjadi 30 per 1.000. "Masih dua kali lipat yang harus diturunkan," kata Soedibyo Alimoeso, Deputi Bidang Keluarga Sejahtera dan Pemberdayaan Keluarga BKKBN, kepada Gatra. Target nasional hanya pada umur 15-19 tahun. Padahal, pada data sensus, ada juga angka remaja melahirkan dengan umur 10-14 tahun, meski lebih rendah: 20-30 per 1.000. "Itu termasuk tinggi," ujar Soedibyo. Artinya, ada kegiatan seksualitas pada umur 10-14 tahun.

***

Badriyah memetakan empat faktor pemicu kejahatan seksual pada anak. Pertama, terjadinya pergeseran nilai. Lingkungan makin permisif. Abai terhadap nilai moral. Prostitusi dianggap biasa: sekadar having fun. "Sehingga pelaku kejahatan seksual lebih leluasa," kata Badriyah. Anak-anak berpacaran dibiarkan bebas. "Itu pintu masuk menuju kekerasan seksual," Badriyah melanjutkan.


Kasus mucikari anak Surabaya itu terjadi sebagian karena frustrasi setelah dinodai pacar. Data BKKBN tahun 2007 menunjukkan, kegiatan seksual remaja berpacaran cukup mengkhawatirkan. Sekitar 41,7% responden pernah berciuman, 26,5% pernah meraba. Bahkan 6,4% responden laki-laki dan 1,3% remaja perempuan pernah berhubungan seksual di luar nikah.


Pemicu kedua, kendala penegakan hukum. Hukuman cenderung ringan. Padahal, ketika korbannya anak, hukuman yang diberikan sepertiga lebih berat ketimbang hukuman normal. Ketiga, hedonisme yang berkaitan erat dengan kemiskinan. Tontonan televisi menyajikan mimpi ketenaran dan keberlimpahan materi. "Itu menjadi faktor pemicu yang sangat berperan untuk terjadinya prostitusi anak," kata Badriyah.


Keempat, pendidikan karakter anak makin lemah. Lingkungan sangat berpengaruh. "Bagaimana anak tidak berpikir hedonis dan permisif kalau sepanjang hari menyaksikan orangtuanya hanya mengurusi hal-hal yang bersifat materi," ujar Badriyah. Orang dewasa menjadi pihak yang paling bertanggung jawab atas maraknya fenomena kekerasan seksual. Apalagi keluarga sebagai benteng pertahanan utama agar anak terhindar dari fenomena ini.


Arist Merdeka juga mencatat, ancaman terbesar penyebab kejahatan seksual pada anak saat ini adalah tuntutan gaya hidup. ''Di kalangan remaja ada istilah 3B: BlackBerry, behel, dan bonding. Jika 3B ini tidak terpenuhi dari keluarga, jadilah mereka terjerat,'' tuturnya. ''Semua orang saat ini, khususnya remaja, dieksploitasi untuk memenuhi gaya hidup. Tidak hanya di kota, karena iklan, televisi, masuk ke pelosok-pelosok. Itu mengakibatkan anak terobsesi menikmati gaya hidup itu,'' ungkap Arist.


Tuntutan gaya hidup itu juga menyebabkan pergeseran bahwa pornografi bukan lagi faktor utama pemantik kejahatan seksual. Dulu orang jadi penonton pornografi, menurut Arist, saat ini cenderung jadi pelaku. Masih di Surabaya, April lalu, polisi menangkap pasangan suami-istri mempertontongan adegan hubungan seksual mereka (live sex show) kepada tamu di Hotel V3, dengan tarif Rp 850.000.


Bicara penyebab, merujuk pada kajian KPP periode 2007-2012, Elvi Hendrani menyebutkan, akar utama kekerasan seksual berawal dari masalah keluarga. Pola asuh keluarga jauh dari nilai agama dan adat positif. "Keluarga yang seharusnya jadi institusi pelindung jadi hilang," katanya. "Broken home dan impitan ekonomi menjadi pemicu." Untuk beberapa kasus, Elvi menyebutkan, pelacuran anak juga terjadi di keluarga mampu. Didorong oleh keinginan bergaya hidup mewah. Terpengaruh ajakan teman. "Ini karena kontrol minim dari keluarga," ia menambahkan.

***

''Butuh gerakan nasional menentang kejahatan seksual pada anak,'' ujar Arist menawarkan solusi. Ia menyebut contoh. Pada Hari Kartini, 21 April lalu, Komnas Anak membuat peringatan dengan meminta Gubernur Jakarta, Joko Widodo, dan Menteri PP, Linda Gumelar, menjadi ikon menentang kejahatan seksual pada anak. ''Harusnya itu ditangkap sebagai program pemerintah. DKI Jakarta sebagai barometer, karena Jakarta paling dominan angka kejahatan seksualnya,'' tutur Arist.


Badriyah menyerukan pembenahan empat hal. Pertama, penanaman nilai. Anak bisa dimotivasi dengan paparan berbau sejarah ketimbang iming-iming materiil. Penting membentuk jiwa anak dengan aktivitas positif dan berbau sosial. "Keluarga harus mendorong anak berkarakter positif," kata Badriyah.


Kedua, keteladanan orang dewasa. "Anak belajar bukan dari larangan, melainkan dari yang dipraktekkan orangtuanya," katanya. Ketiga, penanaman pendidikan seks sesuai dengan usia. Keempat, revitalisasi komite sekolah. Tugas sekolah tidak hanya transfer pengetahuan, melainkan juga sebagai orangtua anak di sekolah.

 
Elly Risman menyerukan agar BKKBN dikembalikan fungsinya untuk penguatan keluarga, bukan sekadar mengurus angka penduduk. Menurut Soedibyo, BKKBN menaruh perhatian pada pentingnya pengetahuan kesehatan reproduksi. Jika tidak tahu, ada kehawatiran, anak tidak sadar ketika dilecehkan secara seksual. "Perlu diajarkan, anak perempuan tidak boleh tidur sekamar dengan saudara laki-laki, paman, ayah tiri, dan sebagainya," ujarnya.


Sabagai langkah pencegahan, salah satu aksi BKKBN adalah membangun konselor dari kalangan remaja. "Remaja senangnya ngerumpi dengan teman-temannya, sehingga peer grup remaja bisa menjadi tempat yang tepat," katanya. Data BKKBN menunjukkan, 58,4% remaja memilih bercerita kepada teman. Kepada orangtua (ibu) hanya 10,5% dan guru 36,8%. Pembibitan konselor remaja dan mahasiswa bertajuk Genre ini dilaksanakan sejak 2006. Kini ada 17.000 SMA dan 400 universitas yang memiliki pusat informasi dan konseling.


KPP dan Kemenkominfo membuat skenario internet sehat untuk anak. Ada pelatihan bagi orangtua untuk memblokir situs porno di laptop dan ponsel anak. KPP juga bekerja sama dengan PKK (Pembinaan Kesejahteraan Keluarga) melalui Dasawisma, kelompok 10-20 keluarga tiap RT. "Kader-kader PKK memantau jika ada kekerasan dalam keluarga, termasuk kekerasan seksual," katanya. Kini terdapat 80.000 kelompok Dasawisma, yang mencakup sekitar 1,2 juta keluarga.


Elvi menyebutkan, tindakan KPP lebih berupa kajian. Untuk rehabilitasi dan pelayanan lain pada korban berada di Kementerian Sosial (Kemensos). "Tapi kami punya unit pengaduan untuk kasus kekerasan apa pun," tuturnya. Kemensos mengaku fokus pada pendampingan dan perlindungan lewat Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA). Anak yang butuh perlindungan khusus, termasuk korban kejahatan seksual, mendapat pendampingan dari pekerja sosial dan memperoleh bantuan Rp 1,5 juta per tahun.


''Uang itu bisa untuk membeli buku tulis atau seragam sekolah. Bisa juga untuk akses kesehatan dan kebutuhan dasar lainnya,'' kata Untung Basuki, Kasubdit Anak yang Membutuhkan Perlindungan Khusus, Direktorat Kesejahteraan Sosial Anak Kemensos. Per tahun tercatat 1.346 anak yang dilayani PKSA. Dari jumlah itu, menurut Untung, 80% korban kejahatan seksual.


"Kami masih terbatas anggaran," tutur Untung. Anak-anak binaan negara itu tersebar di berbagai Rumah Perlindungan Sosial Anak (RPSA) dan Lembaga Perlindungan Anak (LPA) di setiap provinsi. Kemensos juga mengoptimalkan program TESA (Telepon Sahabat Anak) 129. ''Ini ada sejak 2007, tapi sedang dioptimalkan,'' ujarnya. Sayang, Kemensos belum punya data anak korban kekerasan seksual, baru berencana melakukan survei di 25 provinsi. ''Itu kan dark number,'' kata Untung.

Asrori S. Karni, Hayati Nupus, Mira Febri Mellya, Edmiraldo Siregar, dan M. Nurcholish Zaein (Surabaya)
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Data Anak dan Kekerasan 2012 Hasil Pengaduan dan Pemantauan Media Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)
Jenis Kekerasan # Posisi Anak Pelaku # Korban # Jumlah
Kekerasan Seksual # 129 # 342 # 471
Kekerasan Fisik # 116 # 209 # 325
Pencabulan/Asusila # 64 # 117 # 181
Kecelakaan lalu lintas # 52 # 114 # 166
Pembunuhan # 42 # 90 # 132
Kekerasan Psikis # 31 # 89 # 120
Pencurian # 72 # 39 # 111
Penculikan # 8 # 71 # 79

TOTAL: 1585
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Data Traficking dan Eksplotasi Anak Hasil Pengaduan dan Pemantauan Media oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)
Jenis Tindakan # Tahun 2011 # 2012 # Jumlah

Eksplotasi Seks Komersial Anak # 56 # 44 # 100
Eksploitasi Ekonomi Anak # 16 # 75 # 91
Perdagangan Anak # 26 # 59 # 85

Total # 98 # 178 # 276
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Tahun # Kasus Kekerasan pada Anak # Kejahatan Seksual
2010 # 2046 # 47 persen
2011 # 2509 # 58 persen
2012 # 2637 # 62 persen
2013 (Januari-Maret) # 287 # 51 persen

Sumber: Komnas Perlindungan Anak
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Survei Demografi Anak Melahirkan (Terjadi Aktivitas Seksual Usia Anak)
Umur # 2012 # Target 2013

15-19 Tahun # 40-48 per 1000 wanita subur (perkotaan) & 60 per 1000 wanita subur (pedesaan) # 30 per 1.000 wanita subur
10-14 Tahun # 20 - 30 per 1000 wanita subur # -

Sumber: Diolah dari data BKKBN
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Taksiran Anak Korban Eksploitasi Seksual Per Daerah Periode 2007-2012 Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
Kabupaten/Kota # Provinsi # Jumlah Orang
Kota Batam # Kepri # 2.000
Kota Medan # Sumut # 2.000
Kota Sambas # Kalbar # 661
Kota Parep are # Sulsel # 500
Kabupaten Sintang # Kalbar # 500
Kota Tasikmalaya # Jabar # 425
Kab. Tanjung Balai Karimun # Kepri # 239
Kabupaten Malang # Jatim # 225
Kota Manado # Sulut # 50
Kota Indramayu # Jabar # 50
Kota Surakarta # Jateng # 38
Readmore »»   Alarm Serius Nasib Generasi Penerus

Jumat, 12 Juli 2013

TUGAS METODE PENELITIAN

1. Menentukan topik

Secara bahasa topik berarti pokok pembicaraan (pembahasan); buah mulut; pokok pikiran utama. Jadi dapat dipahami bahwa menentukan topik adalah menentukan pembahasan apa yang ingin di teliti dalam sebuah penelitian. Kegiatan meneliti didasarkan oleh keingintahuan terhadap suatu masalah yang belum diketahui dalam rangka mengungkap fakta, solusi dan signifikansi dibalik masalah tersebut.


Readmore »»   TUGAS METODE PENELITIAN

Tuhan sudah Mati?

FRIEDRICH Nietzsche, seorang ahli filosof Jerman pernah berkata bahwa ”Tuhan sudah mati”. Pernyataan Nietzsche ini bukanlah dimaksudkan bahwa ia berpaham ateis sebagaimana yang dipahami oleh sebagian orang tentang dirinya. Tetapi pernyataan Nietzsche ini dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa ajaran-ajaran agama tidak lagi menjadi anutan orang-orang yang beragama pada masa itu. Pernyataan beragama hanya sebatas ungkapan saja sedangkan ajaran-ajaran agama itu telah hilang dalam akal dan tingkah laku penganutnya.

Nietzsche melihat bahwa orang-orang yang mengaku beragama, bahkan dengan gencarnya menyorakkan ajaran-ajaran agama, sebenarnya mereka telah menjadi ateism atau agnostism. Ajaran-ajaran agama telah dicampur baurkan dengan kepentingan politik, ajaran-ajarannya bertentangan dengan realitas, tidak sesuai dengan sains dan agama malah menjadi sumber pertumpahan darah dan perang. Sehingga agama yang seharusnya membimbing manusia untuk menuju kesejahteraan, bermoral dan beradab telah berganti menjadi beban bagi pemeluknya.

Fenomena Umat Islam di Indonesia
Itulah sekilas maksud dari perkataan Nietzsche bahwa “Tuhan sudah mati”. Sekarang jika kita bawa ungkapannya ke dalam fenomena kehidupan muslim Indonesia, nampaknya kita pun pantas berkata bahwa Islam sudah mati dalam tingkah laku dan pikiran orang Islam. Islam tak lagi dihayati oleh pemeluknya sebagai jalan hidup, pedoman, dan landasan dimana ajaran-ajarannya harus diikuti dan dijunjung tinggi.

Orang Islam sudah cukup puas bahkan menganggap memang begitu adanya bahwa ketika mereka telah melakukan salat, puasa, dan berhaji ke mekah, sekurang-kurangnya sekali seumur hidup bagi yang mampu, telah menunjukkan bahwa mereka adalah muslim yang taat yang patut mendapatkan surga di akhirat kelak. Ataupun mereka akan merasa telah berjasa besar untuk Islam ketika telah membangun mesjid, berinfak untuk fakir miskin dan bantuan finansial lainnya.

Sedangkan perilaku-perilaku yang merugikan sesama, amoral, dan asusila terus terjadi dan membudidaya di kalangan orang Islam. Dapat Anda baca dan saksikan berita-berita yang ada di media masa Indonesia dimana korupsi, nepotisme, dan kolusi terus meningkat di jajaran pemerintahan dan masyarakat. Setiap hari ada saja berita tentang korupsi, pembunuhan, pemerkosaan, penipuan dan penjarahan. Semua itu sebagian besar dilakukan oleh orang Islam.

Memang syiar Islam didengungkan dimana-mana, di masjid, menasah, radio, TV dan media-media lainnya. Tetapi apa yang disampaikan  tidak meresap ke dalam sanubari umat Islam, semuanya dianggap sebagai angin lalu. Bahkan tak jarang kita temukan syiar-syiar Islam itu telah beralih fungsi menjadi media lawakan. Orang datang ke forum dakwah Islam tidak lagi untuk memperdalam dan mempertegas keislamannya, tapi lebih pada untuk mendengar lawakan-lawakan yang membuat para pendengar tertawa terbahak-bahak.
Tidak ada maksud saya untuk menyudutkan umat Islam atau Islam tapi ini adalah fakta di lapangan atau memang benar adanya demikian.

Orang mungkin akan berkata bahwa tidak ada hubungan agama ”Islam” dengan fenomena meningkatnya dekadensi moral, korupsi, kolusi dan nepotisme di Indonesia. Jelas  kedua hal tersebut sangat berhubungan. Adanya agama, baik Islam ataupun yang lainnya adalah untuk membentuk manusia yang sadar akan Tuhan dan kehidupan setelah mati. Untuk itu setiap agama membentuk batasan-batasan atau hukum yang mempunyai sanksi di dunia dan di akhirat. Dengan kesadaran ini orang akan berhati-hati dalam melangkah dan berbuat.

Makanya ketika nabi memperkenalkan Islam pada bangsa Arab “yang biadab” hal pertama yang beliau lakukan setelah menyuruh untuk hanya menyembah kepada Allah saja adalah mengajak mereka untuk meninggalkan perilaku-perilaku amoral, menyuruh mereka berkata jujur, memegang amanah, tidak mencuri ”korupsi”, tidak berlaku aniaya terhadap sesama, menghormati tetangga, berbakti kepada orang tua dan lain sebagainnya.

Nabi tidak serta merta datang dan menyuruh orang-orang untuk salat dan puasa, atau harus berhaji tapi nabi diperintahkan untuk membangun fondasi akhlak yang baik terlebih dulu. Ibadat Islam yang paling krusial ”salat” sekalipun baru diwajibkan pada tahun ke-12 setelah nabi diutus, puasa tahun ke-2 setelah hijrah, berhaji tahun ke-6 setelah hijrah. Kemudian dilanjutkan perintah untuk meninggalkan khamar dan lain sebagainya.

Bukankah ini menunjukkan bahwa misi terpenting dalam Islam itu untuk mendidik pemeluknya agar sadar dan bermamfaat bagi masyarakat dan memberantas sifat-sifat mementingkan diri sendiri. Kata nabi, ”sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak mamfaatnya bagi sesama”.

Ditimpa Penyakit Agnostisme
Satu alasan dasar yang membuat umat Islam berada dalam krisis moral seperti yang telah saya jelaskan adalah karena sebagian besar umat Islam saat ini sedang ditimpa penyakit agnostisme. Agnostisme adalah paham  yang percaya dan tidak percaya akan adanya Tuhan. Seorang agnostis tidak memerlukan Tuhan dalam kehidupannya. Dia sesungguhnya percaya tidak, tidak percaya tidak kepada Tuhan. Dari itu agama diterimanya tidak dan ditolaknya pun tidak.

Apa sebabnya? Baik Tuhan, ataupun agama tidak dibicarakan, tidak jadi persoalan baginya. Kedua-duanya diabaikannya dan tidak diacuhkannya. Dari itu kalau ia lahir dari orang tua Islam misalnya, maka secara teori ia beragama Islam. Tetapi dalam praktik ia tidak tahu apa itu Islam dan tidak pula menjalankan ajaran-ajarannya dalam kehidupan. Agnostisme  ini merupakan akibat dari sekulerisasi yang amat intensif dan terlalu jauh dari kehidupan.

Semuanya diduniawikan, tiap-tiap hal dipandang dari dunia, oleh dunia dan untuk dunia. Kalau manusia sudah terkurung dengan dunia, maka ia memutuskan hubungan dengan akhirat. Orang tidak lagi berbicara masalah mati, hiduplah satu-satunya persoalan. Dengan tidak memikirkan keselamatan setelah mati, agama kehilangan urgensi bagi kehidupan manusia.

Ketika Tuhan dan agama tidak lagi dihiraukan dan dihayati kecuali hanya sebatas formalitas saja, maka ini akan menimbulkan malapetaka yang amat besar bagi manusia. Setiap orang tidak lagi  peduli terhadap nasib orang lain, yang terpenting adalah dirinya. Manusia menjadi materialistik, segala sesuatu dinilai dari untung rugi, tidak peduli itu merugikan atau merampas hak orang lain. Pada akhirnya jadilah manusia itu seperti hewan yang buas, saling membunuh dan merampas.

Menurut hemat saya, jalan keluar untuk menghilangkan  fenomena di atas di kalangan masyarakat Indonesia, adalah dengan memberikan dakwah yang lengkap kepadanya. Hanya saja metode dakwah itu haruslah ilmiah dan mempergunakan informasi ilmu-ilmu modern semaksimal mungkin. Andaikan metode dakwah lama juga dihidangkan pada mereka yang dengan sifat tak rasionalnya dan mempergunakan pengetahuan awam yang populer, dapatlah diduga, mereka tak akan kembali menjadi teis ”muslim taat” malahan dapat jatuh kepada ateisme secara tak sadar.

Semoga tulisan ini bisa menjadi bahan pelajaran bagi kita bersama selaku orang Islam. Sungguh sangat memalukan jika suara lantang kita selama ini yang disorakkan oleh para agamawan, politisi, para guru, dan para intelektual bahwa kita adalah masyarakat religius dan bermoral tapi tingkah laku kita sangat berbeda jauh dari apa yang diajarkan oleh agama ”Islam”. Apakah kita sudah benar-benar beragama? Mari kita menjawab dengan jujur.*** (Teuku Saifullah, Kader HMI Kom. Syariah Walisongo Semarang: http://batampos.co.id/14/06/2013/tuhan-sudah-mati)
Readmore »»   Tuhan sudah Mati?