Jumat, 12 Juli 2013

Tuhan sudah Mati?

FRIEDRICH Nietzsche, seorang ahli filosof Jerman pernah berkata bahwa ”Tuhan sudah mati”. Pernyataan Nietzsche ini bukanlah dimaksudkan bahwa ia berpaham ateis sebagaimana yang dipahami oleh sebagian orang tentang dirinya. Tetapi pernyataan Nietzsche ini dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa ajaran-ajaran agama tidak lagi menjadi anutan orang-orang yang beragama pada masa itu. Pernyataan beragama hanya sebatas ungkapan saja sedangkan ajaran-ajaran agama itu telah hilang dalam akal dan tingkah laku penganutnya.

Nietzsche melihat bahwa orang-orang yang mengaku beragama, bahkan dengan gencarnya menyorakkan ajaran-ajaran agama, sebenarnya mereka telah menjadi ateism atau agnostism. Ajaran-ajaran agama telah dicampur baurkan dengan kepentingan politik, ajaran-ajarannya bertentangan dengan realitas, tidak sesuai dengan sains dan agama malah menjadi sumber pertumpahan darah dan perang. Sehingga agama yang seharusnya membimbing manusia untuk menuju kesejahteraan, bermoral dan beradab telah berganti menjadi beban bagi pemeluknya.

Fenomena Umat Islam di Indonesia
Itulah sekilas maksud dari perkataan Nietzsche bahwa “Tuhan sudah mati”. Sekarang jika kita bawa ungkapannya ke dalam fenomena kehidupan muslim Indonesia, nampaknya kita pun pantas berkata bahwa Islam sudah mati dalam tingkah laku dan pikiran orang Islam. Islam tak lagi dihayati oleh pemeluknya sebagai jalan hidup, pedoman, dan landasan dimana ajaran-ajarannya harus diikuti dan dijunjung tinggi.

Orang Islam sudah cukup puas bahkan menganggap memang begitu adanya bahwa ketika mereka telah melakukan salat, puasa, dan berhaji ke mekah, sekurang-kurangnya sekali seumur hidup bagi yang mampu, telah menunjukkan bahwa mereka adalah muslim yang taat yang patut mendapatkan surga di akhirat kelak. Ataupun mereka akan merasa telah berjasa besar untuk Islam ketika telah membangun mesjid, berinfak untuk fakir miskin dan bantuan finansial lainnya.

Sedangkan perilaku-perilaku yang merugikan sesama, amoral, dan asusila terus terjadi dan membudidaya di kalangan orang Islam. Dapat Anda baca dan saksikan berita-berita yang ada di media masa Indonesia dimana korupsi, nepotisme, dan kolusi terus meningkat di jajaran pemerintahan dan masyarakat. Setiap hari ada saja berita tentang korupsi, pembunuhan, pemerkosaan, penipuan dan penjarahan. Semua itu sebagian besar dilakukan oleh orang Islam.

Memang syiar Islam didengungkan dimana-mana, di masjid, menasah, radio, TV dan media-media lainnya. Tetapi apa yang disampaikan  tidak meresap ke dalam sanubari umat Islam, semuanya dianggap sebagai angin lalu. Bahkan tak jarang kita temukan syiar-syiar Islam itu telah beralih fungsi menjadi media lawakan. Orang datang ke forum dakwah Islam tidak lagi untuk memperdalam dan mempertegas keislamannya, tapi lebih pada untuk mendengar lawakan-lawakan yang membuat para pendengar tertawa terbahak-bahak.
Tidak ada maksud saya untuk menyudutkan umat Islam atau Islam tapi ini adalah fakta di lapangan atau memang benar adanya demikian.

Orang mungkin akan berkata bahwa tidak ada hubungan agama ”Islam” dengan fenomena meningkatnya dekadensi moral, korupsi, kolusi dan nepotisme di Indonesia. Jelas  kedua hal tersebut sangat berhubungan. Adanya agama, baik Islam ataupun yang lainnya adalah untuk membentuk manusia yang sadar akan Tuhan dan kehidupan setelah mati. Untuk itu setiap agama membentuk batasan-batasan atau hukum yang mempunyai sanksi di dunia dan di akhirat. Dengan kesadaran ini orang akan berhati-hati dalam melangkah dan berbuat.

Makanya ketika nabi memperkenalkan Islam pada bangsa Arab “yang biadab” hal pertama yang beliau lakukan setelah menyuruh untuk hanya menyembah kepada Allah saja adalah mengajak mereka untuk meninggalkan perilaku-perilaku amoral, menyuruh mereka berkata jujur, memegang amanah, tidak mencuri ”korupsi”, tidak berlaku aniaya terhadap sesama, menghormati tetangga, berbakti kepada orang tua dan lain sebagainnya.

Nabi tidak serta merta datang dan menyuruh orang-orang untuk salat dan puasa, atau harus berhaji tapi nabi diperintahkan untuk membangun fondasi akhlak yang baik terlebih dulu. Ibadat Islam yang paling krusial ”salat” sekalipun baru diwajibkan pada tahun ke-12 setelah nabi diutus, puasa tahun ke-2 setelah hijrah, berhaji tahun ke-6 setelah hijrah. Kemudian dilanjutkan perintah untuk meninggalkan khamar dan lain sebagainya.

Bukankah ini menunjukkan bahwa misi terpenting dalam Islam itu untuk mendidik pemeluknya agar sadar dan bermamfaat bagi masyarakat dan memberantas sifat-sifat mementingkan diri sendiri. Kata nabi, ”sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak mamfaatnya bagi sesama”.

Ditimpa Penyakit Agnostisme
Satu alasan dasar yang membuat umat Islam berada dalam krisis moral seperti yang telah saya jelaskan adalah karena sebagian besar umat Islam saat ini sedang ditimpa penyakit agnostisme. Agnostisme adalah paham  yang percaya dan tidak percaya akan adanya Tuhan. Seorang agnostis tidak memerlukan Tuhan dalam kehidupannya. Dia sesungguhnya percaya tidak, tidak percaya tidak kepada Tuhan. Dari itu agama diterimanya tidak dan ditolaknya pun tidak.

Apa sebabnya? Baik Tuhan, ataupun agama tidak dibicarakan, tidak jadi persoalan baginya. Kedua-duanya diabaikannya dan tidak diacuhkannya. Dari itu kalau ia lahir dari orang tua Islam misalnya, maka secara teori ia beragama Islam. Tetapi dalam praktik ia tidak tahu apa itu Islam dan tidak pula menjalankan ajaran-ajarannya dalam kehidupan. Agnostisme  ini merupakan akibat dari sekulerisasi yang amat intensif dan terlalu jauh dari kehidupan.

Semuanya diduniawikan, tiap-tiap hal dipandang dari dunia, oleh dunia dan untuk dunia. Kalau manusia sudah terkurung dengan dunia, maka ia memutuskan hubungan dengan akhirat. Orang tidak lagi berbicara masalah mati, hiduplah satu-satunya persoalan. Dengan tidak memikirkan keselamatan setelah mati, agama kehilangan urgensi bagi kehidupan manusia.

Ketika Tuhan dan agama tidak lagi dihiraukan dan dihayati kecuali hanya sebatas formalitas saja, maka ini akan menimbulkan malapetaka yang amat besar bagi manusia. Setiap orang tidak lagi  peduli terhadap nasib orang lain, yang terpenting adalah dirinya. Manusia menjadi materialistik, segala sesuatu dinilai dari untung rugi, tidak peduli itu merugikan atau merampas hak orang lain. Pada akhirnya jadilah manusia itu seperti hewan yang buas, saling membunuh dan merampas.

Menurut hemat saya, jalan keluar untuk menghilangkan  fenomena di atas di kalangan masyarakat Indonesia, adalah dengan memberikan dakwah yang lengkap kepadanya. Hanya saja metode dakwah itu haruslah ilmiah dan mempergunakan informasi ilmu-ilmu modern semaksimal mungkin. Andaikan metode dakwah lama juga dihidangkan pada mereka yang dengan sifat tak rasionalnya dan mempergunakan pengetahuan awam yang populer, dapatlah diduga, mereka tak akan kembali menjadi teis ”muslim taat” malahan dapat jatuh kepada ateisme secara tak sadar.

Semoga tulisan ini bisa menjadi bahan pelajaran bagi kita bersama selaku orang Islam. Sungguh sangat memalukan jika suara lantang kita selama ini yang disorakkan oleh para agamawan, politisi, para guru, dan para intelektual bahwa kita adalah masyarakat religius dan bermoral tapi tingkah laku kita sangat berbeda jauh dari apa yang diajarkan oleh agama ”Islam”. Apakah kita sudah benar-benar beragama? Mari kita menjawab dengan jujur.*** (Teuku Saifullah, Kader HMI Kom. Syariah Walisongo Semarang: http://batampos.co.id/14/06/2013/tuhan-sudah-mati)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar