ISTIMEWA
Perlu dicari sosok yang bertanggung jawab akan hidup masyarakat yang dari hari ke hari semakin sulit. Secara mudah, warga bisa langsung menunjuk semua ini tanggung jawab pemerintah. Tugas konstitusional negara untuk menyejahterakan masyarakat masih jauh dari kenyataan, sebagaimana dicita-citakan para pendidi bangsa.
Dalam waktu yang lama pemeirntah lebih fokus memikirkan dengan keras cara mengurusi kepentingannya. Mereka disibukkan dengan masalah koalisi, sekretariat gabungan, dan pembenaran-pembenaran atas langkah-langkah yang tidak prorakyat. Setali tiga uang, menteri juga banyak mengurus pundi-pundi. Mereka yang dari partai sibuk mengumpulkan dana pemilu 2014 dengan me-mark up dari berbagai proyek yang sengaja diciptakan supaya ada jatah yang mengalir ke kantor partai. Menteri dari partai banyak yang tidak berkualitas. Mereka diangkat hanya karena partainya mendukung pemerintah.
Jelas dalam potret pejabat negara seperti itu, telah lama melupakan masyarakat. Warga dibiarkan mencari cara sendiri-sendiri untuk bisa survive dari kehidupan yang nyaris tak tertanggungkan ini. Maka, jadinya barangkali tidak sepenuhnya salah masyarakat sepenuhnya kalau mereka akhirnya mencari rezeki secara tidak baik.
Contoh, korupsi yang diperlihatkan kaum elite, apalagi mereka masih bisa tertawa dan tersenyum, sedikit banyak “menginspirasi” ke bawah. Masyarakat kecil mulai juga korupsi kecil-kecilan. Mereka hanya bisa korupsi kecil-kecilan karena jauh dari uang banyak, tidak seperti para menteri dan elite partai yang dekat dengan tumpukan uang.Tukang ngecek penumpang bus pun selalu diberi uang sogok.
Kalau pernah naik bus umum, di selalu ada poin untuk mengecek jumlah penumpang. Kondektur menyuap ceker agar (contoh) ada 50 penumpang, tapi ditulis 25 saja sehingga sisa uang masuk kantong kru bus. Ini salah kaprah karena ceker bus justru untuk mengawasi agar kru bus tidak curang, tapi pengawas ini (seperti juga pejabat pemerintah dan partai) menerima suap. Pegaai-pegawai juga kecil-kecilan korupsi mulai dari mempertinggi anggaran fotokopi, gula-kopi, dst. Dari kelas bawah sampai elite semua terlibat korupsi. Ini memprihatinkan!
Kehidupan tidak baik juga diperlihatkan para pedagang di pasar. Mereka antara lain memanipulasi timbangan, sehingga satu kilo tidak lagi 10 tapi hanya delapan ons. Yang tidak baik dan membunuh orang lain adalah penggunaan obat-obatan yang tidak seharusnya. Misalnya, bahan pewarna tekstil untuk mewarnai kue. Ini tidak sekadar mencari keuntungan bagi diri sendiri, tapi mencelakai orang lain. Jadi ada dua kesalahan sekaligus.
Demikian juga penggunaan boraks yang untuk mengawetkan mayat malah digunakan untuk makanan agar awet. Kejahatan ini juga tak kalah mengerikan karena bisa melahirkan keburukan bagi fisik manusia. Kehidupan tukang bengkel pun sudah dirasuki kejahatan karena ada di antara mereka harus menebar paku untuk mencelakai pengendara sehingga mereka memperoleh konsumen.
Di Puncak setiap akhir pekan banyak bengkel darurat yang menipu. Mereka manakut-nakuti kondisi kendaraan dalam mencari konsumen. Ya banyak lagi contoh cara hidup masyarakat yang semakin memprihatinkan dan menyedihkan. Seolah mata hati mereka buta akan akhir tembe (akhir hari) di mana mereka harus mempertanggungjawabkan kehidupan di depan Sang Pengadil yang Agung.
Inikah masyarakat Indonesia? Dari akar rumput hingga pucuk pohon korupsi, dari warga kelas teri hingga elite partai dan pemerintah korupsi. Siapa yang mampu memutus mata rantai korupsi ini? Kehidupan elite partai memuakkan. Praksis sehari-hari pejabat menyebalkan. Bahkan tokoh agama pun senang memainkan kekerasan untuk melindas yang minoritas. Kaum agama kok membunuh orang lain.
Alasan apa pun membunuh tak bisa dibenarkan. Kondisi-kondisi masyarakat seperti ini benar-benar bisa membuat jiwa putus asa dan frustrasi. Maka kalau partai, negara, dan tokoh agama tak lagi bisa diharapkan untuk menuntun kehidupan, satu-satunya kunci perbaikan hidup adalah kembali ke suara hati. Dengarkan suara hati! Jangan mendengarkan orang lain. Suara hatimulah yang akan menuntun ke jalan yang benar.
Sumber: http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/121639
kok gak da yg koment.. gmana?
BalasHapuskeren, Pulll.. lama aku tak baca tulisanmu. aku copas ya.. Mubit
BalasHapus