Munculnya
pernyataan oleh banyak kalangan bahwa intoleransi masih tinggi di Indonesia
adalah benar adanya. Fakta-fakta ketegangan antar umat beragama memang masih
terjadi di beberapa tempat, khususnya Indonesia bagian timur, seperti di Sulawesi,
Ambon, dan daerah lainnya. Terlepas dari campur tangan politik, intoleransi
antar umat beragama tersebut merupakan penyakit nasionalisme dan kebangsaan
yang harus segera diatasi oleh masyarakat dan pemerintah.
Sikap
negara Indonesia mengenai keberagamaan, dalam konstitusi sudah jelas disebutkan
bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat. Tuhan tidak berdaulat di bumi Indonesia,
Tuhan berdaulat di hati para pemeluk agama. Oleh karenanya konstitusi kita
mengamanatkan, tidak boleh negara ikut campur dan mengedapankan agama tertentu
dari agama lainnya. Semua agama harus dianggap sama, tidak ada yang namanya
agama mayoritas dan minoritas, dan tidak ada agama superior dan imperior dalam
negara ini.
Sebagai
konsekuensinya, tidak boleh ada undang-undang, baik ditingkat pusat maupun di daerah
yang menyudutkan, membikin resah, dan berpihak pada keyakinan dan agama
tertentu. Ketika muncul vonis sesat terhadap sebuah keyakinan dan agama,
pemerintah pun harus bersikap netral dan melindungi para penganut keyakinan
yang dianggap sesat, karena mereka adalah warga negara Indonesia. Pemerintah juga
wajib memberi sanksi kepada setiap pejabat dan badan pemerintah yang intoleran
dalam urusan keyakinan.
Permasalahan
intoleransi yang masih membudidaya terjadi karena masyarakat kita belum
sepenuhnya bisa menerima perbedaan. Perbedaan masih dianggap sebagai sebuah
kesalahan. Karena sudah dianggap sebagai kesalahan, maka diatasi dengan
kekerasan, bukan dengan dialog ilmiah dan saling menghargai. Perbedaan juga
dianggap sebagai sebuah ancaman yang akan meruntuhkan tatanan yang sudah ada.
Perasaan takut yang berlebihan, membuat otak tak bisa berfikir secara jernih,
akhirnya amarah dan nafsu yang maju menghadapi perbedaan.
Sikap
intoleransi itu juga sebagai fakta yang mengidentifikasi bahwa masyarakat
tersebut masih bodoh, kurang pendidikan; pendidikan sejarah, pendidikan akhlak/moral,
pendidikan kewarganegaraan, dll. Gusdur pernah menulis bahwa seharusnya
perbedaan itu disikapi dengan lapang dada, dan jiwa ilmiah. Jika toh, dianggap
salah, sesat, dan menyimpang dari kebenaran maka cara mengatasinya bukan dengan
kekerasan dan paksaan, melainkan dengan dakwah.
Perbedaan,
atau disini kita sebut saja ‘ajaran sesat’ kenapa terus berkembang adalah
karena pemeluknya berkeyakinan ajaran tersebut benar, tidak mungkin ada
orang yang akan mengikuti sesuatu yang salah, dan sesat. Keyakinan tidak bisa
dirubah dengan paksaan, melainkan dengan menanamkan keyakinan yang lebih benar.
Maka jalan untuk merubah keyakinan mereka adalah dengan dakwah. Dakwah kepada
mereka yang dianggap sesat agar kembali ke jalan yang benar dan dakwah kepada
mereka yang benar agar tidak terjerumus kepada yang sesat.
Pada
dasarnya, setiap orang tidak dilarang menganggap ajaran dan agama tertentu
salah, sesat, dan menyimpang dari kebenaran, asalkan dengan cara ilmiah, bukan
kekerasan. Sama halnya ketika ada orang yang membantah dan menganggap opini orang
lain salah, maka ia harus mengutarakan opininya yang dianggap benar.
Jika
kita membaca sejarah Islam, karena saya orang Islam, maka akan ditemukan bahwa
pemerintahan Islam yang pernah berkuasa dan menjadi imperium terbesar di dunia
sangat menghargai perbedaan pendapat, keyakinan, dan agama. Dalam piagam
madinah, yang oleh sebagian orientalis dianggap sebagai pondasi negara
modern, dituliskan bahwa nabi memberikan kebebasan kepada setiap orang untuk
beragama sesuai dengan keyakinannya, tidak ada paksaan dalam agama.
Begitu
pula ketika Palestina di taklukan pada masa khalifah Umar, orang Yahudi, Kristen,
dan lain sebagainya tetap dibebaskan untuk beribadat di sekitar masjidil Aqsa. Bahkan
ada ulama yang menganggap agama Shinto, Budha, Majusi, dll termasuk dalam
kelompok yang dalam alquran disebut sebagai ahlul kitab.
Ditingkat
internal Islam, juga banyak perbedaan dalam hal aqidah, misalnya ada kelompok
Syiah, Mu’tazilah yang menganggap alquran makluk, ajaran sufi tertentu yang
mengganggap manusia bisa menyatu dengan Tuhan, paham wahdatul wujud, dan
lain sebagainya. Para ulama dan masyarakat Islam ketika itu sangat toleran.
Kekerasan
dan paksaan baru terjadi ketika penguasa dan politik ikut campur. Misalnya,
khalifah al-Makmun yang memaksa masyarakat Islam agar setuju dengan keyakinan
mu’tazilah bahwa al-Quran adalah makluk. Sikap toleransi dalam Islam itu bisa
dibaca dalam buku-buku sejarah, seperti kajian sejarah Prof. Arnold Toynbee.
Hal
yang sangat disayangkan, bahwa pernyataan intoleransi yang terjadi di beberapa
tempat di Indonesia terlalu di dramatisasi. Seakan-akan intoleransi sudah
begitu membudidayanya di masyarakat Indonesia. Padahal jika kita lihat fakta
dilapangan, masyarakat kita sangat toleran, baik di kota-kota yang masyarakatnya
berpikiran modern, maupun di desa-desa yang masih tradisional.
Saya
contohkan di Aceh, dimana agama Islam adalah agama mayoritas di sana. Tetapi
pemeluk Kristen, Budha, dan lain sebagainya bisa hidup berdampingan dengan
masyarakat Islam Aceh. Tidak ada sikap memandang lebih rendah pemeluk agama
lain. Saya punya banyak teman Kristen dan keturunan Cina, mereka itu sering
main ke rumah saya yang ada di salah satu desa di Aceh Utara.
Hanya
masyarakat Aceh, masih belum sepenuhnya bisa menerima perbedaan antar sesama
orang Islam. Bagi orang Islam Aceh, Islam yang benar itu adalah Islam dalam
bidang fiqh mengikuti mazhab Syafi’i atau empat mazhab, dan aqidah mengikuti
Abu Musa al-Ansyari, atau sering disebut sebagai paham sunni, selain
dari itu masih disangsikan. Tetapi saya yakin, beberapa tahun kedepan seiring
makin meningkatnya kualitas pendidikan dan makin banyaknya pemuda-pemudi yang
berpikiran modern sikap toleransi antar umat Islam di Aceh akan tumbuh dengan
sendirinya.
Oleh
karena itu, intoleransi antar umat beragama yang masih terjadi di beberapa
tempat di Indonesia merupakan tugas suci yang harus diberantas dengan damai
tampa kekerasan oleh setiap pemeluk agama. Dukungan pemerintah adalah dengan
menggalakkan program-program yang berorientasi terbentuknya toleransi.
Pemerintah haram memihak. Pemerintah harus bersikap netral sesuai dengan
landasan konstitusi. Keberpihakan pemerintah pada suatu keyakinan atau agama
harus dianggap sebagai inkonstitusional.
Teuku
Saifullah, peneliti di FARABI Institute Jawa Tengah (dimuat di medan
bisnis)
keren ommm... bawa terus nama farabi/hehe
BalasHapus