Senin, 04 November 2013

Dramatisasi Intoleransi Beragama



Munculnya pernyataan oleh banyak kalangan bahwa intoleransi masih tinggi di Indonesia adalah benar adanya. Fakta-fakta ketegangan antar umat beragama memang masih terjadi di beberapa tempat, khususnya Indonesia bagian timur, seperti di Sulawesi, Ambon, dan daerah lainnya. Terlepas dari campur tangan politik, intoleransi antar umat beragama tersebut merupakan penyakit nasionalisme dan kebangsaan yang harus segera diatasi oleh masyarakat dan pemerintah.

Sikap negara Indonesia mengenai keberagamaan, dalam konstitusi sudah jelas disebutkan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat. Tuhan tidak berdaulat di bumi Indonesia, Tuhan berdaulat di hati para pemeluk agama. Oleh karenanya konstitusi kita mengamanatkan, tidak boleh negara ikut campur dan mengedapankan agama tertentu dari agama lainnya. Semua agama harus dianggap sama, tidak ada yang namanya agama mayoritas dan minoritas, dan tidak ada agama superior dan imperior dalam negara ini.
Sebagai konsekuensinya, tidak boleh ada undang-undang, baik ditingkat pusat maupun di daerah yang menyudutkan, membikin resah, dan berpihak pada keyakinan dan agama tertentu. Ketika muncul vonis sesat terhadap sebuah keyakinan dan agama, pemerintah pun harus bersikap netral dan melindungi para penganut keyakinan yang dianggap sesat, karena mereka adalah warga negara Indonesia. Pemerintah juga wajib memberi sanksi kepada setiap pejabat dan badan pemerintah yang intoleran dalam urusan keyakinan. 
Permasalahan intoleransi yang masih membudidaya terjadi karena masyarakat kita belum sepenuhnya bisa menerima perbedaan. Perbedaan masih dianggap sebagai sebuah kesalahan. Karena sudah dianggap sebagai kesalahan, maka diatasi dengan kekerasan, bukan dengan dialog ilmiah dan saling menghargai. Perbedaan juga dianggap sebagai sebuah ancaman yang akan meruntuhkan tatanan yang sudah ada. Perasaan takut yang berlebihan, membuat otak tak bisa berfikir secara jernih, akhirnya amarah dan nafsu yang maju menghadapi perbedaan.
Sikap intoleransi itu juga sebagai fakta yang mengidentifikasi bahwa masyarakat tersebut masih bodoh, kurang pendidikan; pendidikan sejarah, pendidikan akhlak/moral, pendidikan kewarganegaraan, dll. Gusdur pernah menulis bahwa seharusnya perbedaan itu disikapi dengan lapang dada, dan jiwa ilmiah. Jika toh, dianggap salah, sesat, dan menyimpang dari kebenaran maka cara mengatasinya bukan dengan kekerasan dan paksaan, melainkan dengan dakwah.
Perbedaan, atau disini kita sebut saja ‘ajaran sesat’ kenapa terus berkembang adalah karena pemeluknya berkeyakinan ajaran tersebut benar, tidak mungkin ada orang yang akan mengikuti sesuatu yang salah, dan sesat. Keyakinan tidak bisa dirubah dengan paksaan, melainkan dengan menanamkan keyakinan yang lebih benar. Maka jalan untuk merubah keyakinan mereka adalah dengan dakwah. Dakwah kepada mereka yang dianggap sesat agar kembali ke jalan yang benar dan dakwah kepada mereka yang benar agar tidak terjerumus kepada yang sesat.
Pada dasarnya, setiap orang tidak dilarang menganggap ajaran dan agama tertentu salah, sesat, dan menyimpang dari kebenaran, asalkan dengan cara ilmiah, bukan kekerasan. Sama halnya ketika ada orang yang membantah dan menganggap opini orang lain salah, maka ia harus mengutarakan opininya yang dianggap benar.
Jika kita membaca sejarah Islam, karena saya orang Islam, maka akan ditemukan bahwa pemerintahan Islam yang pernah berkuasa dan menjadi imperium terbesar di dunia sangat menghargai perbedaan pendapat, keyakinan, dan agama. Dalam piagam madinah, yang oleh sebagian orientalis dianggap sebagai pondasi negara modern, dituliskan bahwa nabi memberikan kebebasan kepada setiap orang untuk beragama sesuai dengan keyakinannya, tidak ada paksaan dalam agama.
Begitu pula ketika Palestina di taklukan pada masa khalifah Umar, orang Yahudi, Kristen, dan lain sebagainya tetap dibebaskan untuk beribadat di sekitar masjidil Aqsa. Bahkan ada ulama yang menganggap agama Shinto, Budha, Majusi, dll termasuk dalam kelompok yang dalam alquran disebut sebagai ahlul kitab.
Ditingkat internal Islam, juga banyak perbedaan dalam hal aqidah, misalnya ada kelompok Syiah, Mu’tazilah yang menganggap alquran makluk, ajaran sufi tertentu yang mengganggap manusia bisa menyatu dengan Tuhan, paham wahdatul wujud, dan lain sebagainya. Para ulama dan masyarakat Islam ketika itu sangat toleran.
Kekerasan dan paksaan baru terjadi ketika penguasa dan politik ikut campur. Misalnya, khalifah al-Makmun yang memaksa masyarakat Islam agar setuju dengan keyakinan mu’tazilah bahwa al-Quran adalah makluk. Sikap toleransi dalam Islam itu bisa dibaca dalam buku-buku sejarah, seperti kajian sejarah Prof. Arnold Toynbee.
Hal yang sangat disayangkan, bahwa pernyataan intoleransi yang terjadi di beberapa tempat di Indonesia terlalu di dramatisasi. Seakan-akan intoleransi sudah begitu membudidayanya di masyarakat Indonesia. Padahal jika kita lihat fakta dilapangan, masyarakat kita sangat toleran, baik di kota-kota yang masyarakatnya berpikiran modern, maupun di desa-desa yang masih tradisional.
Saya contohkan di Aceh, dimana agama Islam adalah agama mayoritas di sana. Tetapi pemeluk Kristen, Budha, dan lain sebagainya bisa hidup berdampingan dengan masyarakat Islam Aceh. Tidak ada sikap memandang lebih rendah pemeluk agama lain. Saya punya banyak teman Kristen dan keturunan Cina, mereka itu sering main ke rumah saya yang ada di salah satu desa di Aceh Utara.
Hanya masyarakat Aceh, masih belum sepenuhnya bisa menerima perbedaan antar sesama orang Islam. Bagi orang Islam Aceh, Islam yang benar itu adalah Islam dalam bidang fiqh mengikuti mazhab Syafi’i atau empat mazhab, dan aqidah mengikuti Abu Musa al-Ansyari, atau sering disebut sebagai paham sunni, selain dari itu masih disangsikan. Tetapi saya yakin, beberapa tahun kedepan seiring makin meningkatnya kualitas pendidikan dan makin banyaknya pemuda-pemudi yang berpikiran modern sikap toleransi antar umat Islam di Aceh akan tumbuh dengan sendirinya.
Oleh karena itu, intoleransi antar umat beragama yang masih terjadi di beberapa tempat di Indonesia merupakan tugas suci yang harus diberantas dengan damai tampa kekerasan oleh setiap pemeluk agama. Dukungan pemerintah adalah dengan menggalakkan program-program yang berorientasi terbentuknya toleransi. Pemerintah haram memihak. Pemerintah harus bersikap netral sesuai dengan landasan konstitusi. Keberpihakan pemerintah pada suatu keyakinan atau agama harus dianggap sebagai inkonstitusional.
Teuku Saifullah, peneliti di FARABI Institute Jawa Tengah (dimuat di medan bisnis)

1 komentar: