Rabu, 17 April 2013

Maju atau Bubar?


Tak jarang ketika ditanya, para kader masih kehilangan arah, Apa tujuanmu masuk HMI? Jawaban konvensional yang disampaikan adalah untuk mencari ridha Tuhan. Namun, itu masih lebih baik meski tidak tahu rasionalisasi tentang jawaban tersebut. Minimal, mereka masih ingat ketika penataan niat di LK1.

Ada beberapa kemungkinan mengepa hanya jawaban seperti itu yang disampaikan tanpa ada penjelasan selanjutnya. Apakah hanya dengan mencatatkan nama sebagai kader HMI ridha Tuhan akan didapatkan? Kemungkinan pertama adalah, ada yang belum tuntas dan belum difahami ketika mengikuti proses LK1. Sehingga masih belum bisa membedakan antara mengikuti HMI dan mengikuti organisasi lain. 

Kemungkinan kedua adalah, minimnya usaha untuk terus mengkaji HMI secara berkesinambungan. Baik secara personal maupun secara kelembagaan. LK1 dianggap sudah cukup. Karena target awal pengurus hanya mendapatkan kader yang banyak. Oleh karenanya, banyak kader yang tidak aktif dan minim kontribusi pada HMI. Akhirnya, setiap kader harus menyadari tanggung jawabnya masing-masing. Secara personal, sebagai kader harus meningkatkan kwalitas diri. Secara kelembagaan, kader yang menjadi pengurus harus menyediakan forum dan dinamika untuk meningkatkan kwalitas ke-HMI-an kader.

Mengapa kemudian kemungkinan-kemungkinan di atas belum bisa teratasi? Jawabannya simple namun tidak sederhana. Ibarat sebuah rumah, hmi berisikan satu keluarga yang tidak dapat dipisahkan. Masalahnya, dalam rumah tersebut tikus-tikuspun merasa memiliki rumah tersebut. Hanya saja memiliki fungsi yang terkadang non mutualis.

Senior memiliki andil besar dalam sebuah organisasi. Ia dipandang lebih dulu masuk dalam organisasi. Sebelum memandang materi kaderisasi, senior menjadi focus utama dari kader. Urusan materi organisasi menjadi nomor yang kesekian dalam andil proses kaderisasi. Sebuah materi organisasi akan berefek berbeda terhadap kader, tergantung yang menyampaikan.

HMI ibarat sebuah pot bunga. Sebagai media, ia hanya akan berperan pasif jika tidak ada asupan gizi dari yang lain. Bunga akan tumbuh kerontang jika tidak ada yang menyirami dan memberi pupuk. HMI akan seperti itu adanya, hanya terancang dalam teks mati yang sebenarnya membutuhkan akselerasi dari pelakunya. Sehingga, jangan menanyakan apa yang telah diberikan HMI. Tapi tanya apa yang sudah kau berikan kepada HMI.

HMI sedang berada pada grafik menurun setelah melewati puncak kurfa. Degradasi kwalitas dan kwantitas merupakan problem utama. Para kader telah terbuai dan terbius melihat para senior-seniornya yang telah sukses, tanpa melihat perjuangan senior tersebut untuk menjadi sukses. Kader hanya melihat senior-senior yang sukses, entah sebagai pejabat, politisi, ataupun akademisi. Padahal, banyak dari senior-senior yang mengalami kondisi hidup yang tidak secerah itu. Hal ini seharusnya dipandang secara holistic oleh kader-kader. Guna memacu etos kerja dalam berproses di organisasi. Bandingkanlah proses jangan hasil!

Kepekaan mengevaluasi kondisi tidak dimiliki seutuhnya oleh para calon pemimpin bangsa (kader HMI). Dalam konteks Walisongo, para kader sudah tersibukan dengan aktifitas masing-masing. Hanya sedikit yang menjadikan HMI sebagai pilihan nomor satu. Sebagai contoh, berapa kader yang memiliki komitmen nyata untuk mencari kader sebagai upaya meningkatkan kwantitas kader? Banyak dari masing-masing pimpinan yang belum bisa menentukan arah nyata organisasi. Ritmis-ritmis waktu tidak disesuaikan dengan kondisi kampus dan keadaan social. Hanya berjalan mengikuti arus tanpa ada inovasi.

Kepekaan tersebut muncul karena intensitas berdiskursus sangat minim untuk mengasah kemampuan anilasa otak. Yang dipentingkan hanyalah okol untuk kerja lapangan. Akhirnya, kerja lapanganpun kehilangan substansinya. Hanya menjadi ritus tanpa ada target yang dicapai. Saatnya menciptakan kultur sebagai insan kamil atau intelektual organic. Karena kita harus lebih baik dari filosof yang hanya berfikir. Kita harus menjadi nabi yang tidak Cuma berfikir. Tapi juga melakukan perubahan social. Begitulah menurut Ali Syari’ati.

Secara umum, intensitas intelektual masih sangat minim dalam proses kaderisasi kita secara kelembagaan. Kader-kader hanya bertemu dalam forum-forum formal dengan intensitas yang sangat minim. Efeknya, hubungan antar kaderpun menjadi hubungan formalitas. Tegur sapa yang formalitas jika ketemu di kampus atau di jalan. Ini menjadi PR bersama, khususnya untuk komisariat sebagai basis kaderisasi. Oleh karenanya, masing-masing komisariat harus memiliki tempat singgah untuk kader. Tempat dimana kader bisa merekatkan emosional. Terjadi hubungan intelektual secara intensif. Yang akhirnya, soliditaspun terwujud. Siap setiap saat dan kwalitas dapat diandalkan.

Sebenarnya, Graha Bina Insani merupakan tempat bersama. Hanya saja, sering kali dianggap sebagai hanya kantor HMI Korkom Walisongo. Ada tujuh lembaga yang berkantor di garaha bina insani. Yakni, empat komisariat, korkom, dan dua LSO. Yang semuanya diatur oleh Badan Eksekutif Rumah Tangga dalam hal penggunaan fasilitas.

Semua yang telah disampaikan di atas merupakan masalah atau dinamika yang memang tidak bisa digeneralisir pada kondisi secara utuh hingga tingkat nasional. Setidaknya, hal di atas merupakan ungkapan personal kader atas kegelisahanya tentang kndisi organisasi (khususnya di semarang dan walisongo) yang mengalami kejumudan dan merasa pada posisi mapan serta nyaman. Gerakan perubahan harus dimulai dari diri sendiri. Jangan berharap besar kepada siapapun kecuali pada dirimu sendiri.

Yakin Usaha Sampai………….!!!
Nurul Ichwan
Kader HMI Komisariat Iqbal Walisongo Semarang 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar