Sabtu, 20 April 2013

Disorientasi Pendidikan Nasional


Sekarang orientasi orang kuliah, sekolah, dan belajar tidak lagi berada pada satu tujuan; mendapatkan pengetahuan. Tetapi telah merambah pada anggapan bahwa sekolah, dan kuliah adalah untuk mendapatkan ijazah atau legalitas dimana nantinya akan digunakan untuk formalitas persyaratan masuk kerja.  
Sebelum masa revolusi industri, orang belajar berorientasi untuk mendapatkan ilmu. Ilmu yang didapatkan itu digunakan untuk menghasilkan penemuan baru, membuat sebuah karya tertentu atau paling banter untuk memperoleh ketenaran bahwa dia orang berilmu, ilmuan dan cendikiawan. Tetapi, tidak ada orientasi ketika itu bahwa belajar atau kuliah untuk mendapatkan legalisir pengakuan ijazah sebagai syarat masuk kerja atau menentukan posisi seseorang dalam sebuah pekerjaan.        
Setelah revolusi industri semua tujuan keilmuan berubah menjadi jalan mencari pekerjaan, dan profesi. Memang wajar, karena saat ini orang dinilai berguna tidaknya tergantung dari keahlian yang dimiliki. Dan bukti orang dikatakan memiliki keahlian ditunjukkan dengan legalitas ijazah. Jadi jika seseorang punya ilmu yang luas dan keahlian yang banyak tetapi ia tidak punya legalitas, ijazah tetap saja orang ini belum dianggap berpengetahuan.        
Berbeda ceritanya jika ada orang yang ingin jadi pengusaha, bukan karyawan perusahaan atau pegawai pemerintah. Karena yang dibutuhkan untuk menjadi seorang pengusaha adalah keahlian saja tampa tersyarat formalitas ijazah atau surat bukti yang terlegalisir berpendidikan. Sekarang yang sedang kita bicarakan terkait orang yang ingin jadi pegawai pemerintah atau karyawan perusahaan. Berhubung kecendrungan saat ini, mayoritas masyarakat Indonesia lebih banyak memilih menjadi karyawan perusahaan atau pegawai pemerintah. 

Membentuk kelas baru
Pola seperti ini pada akhirnya akan membentuk kelas baru dalam masyarakat, yaitu kaum terpelajar secara formal dan tidak terpelajar. Yang terpelajar pun ada pembagiannya lagi, tergantung tingkat atau strata pendidikan yang ditempuh. Semakin tinggi strata pendidikan seseorang dalam bidang tertentu, yang dibuktikan dengan ijazah, menunjukkan bahwa orang itu memiliki keahlian yang lebih berbobot dan berkualitas dari yang lain.   Dan ini semua ada dampaknya, di mana yang pendidikannya lebih tinggi akan memperoleh pekerjaan yang lebih berkelas dan terhormat dari mereka yang pendidikannya lebih rendah atau tidak berpendidikan, sekali lagi dibuktikan dengan ijazah. Walaupun ada persyaratan lain ketika melamar kerja, seperti, berpengalaman sekian tahun, tetapi tetap saja strata pendidikan menentukan segalanya.           
Misalnya, lulusan sekolah dasar (SD), SLTP, dan SLTA, atau yang tidak sekolah formal sama sekali, paling banter saat ini hanya bisa bekerja sebagai buruh lapangan, jadi office boy, tukang bersih-bersih, buruh bangunan atau pekerjaan lainnya yang bisa dibilang rendah. Dalam hal gaji pun berbeda jauh antara yang berpendidikan lebih tinggi dengan mereka yang pendidikannya lebih rendah atau tidak berpendidikan formal.          
Untuk buktinya. Sekarang coba lihat dan cari, adakah perusahaan atau instansi pemerintah ketika akan merekrut anggota, pegawai karyawan baru, yang membuat pernyataan bahwa penerimaan anggota, pegawai dan karyawan tergantung dari segi keahlian, baik ia berpendidikan formal atau tidak? Saya belum menemukan yang seperti itu. Pasti semuanya mensyaratkan bahwa calon anggota, pegawai dan karyawan minimal harus lulusan SMP, SMA, Diploma, SI dan lain sebagainya.  
Akhirnya apa yang terjadi? Setiap orang berlomba-lomba memperoleh pendidikan formal. Tujuannya satu, mendapatkan ijazah. Setiap tahun peminat sekolah formal terus meningkat. Bahkan ada yang berani bayar ratusan juta yang penting anaknya bisa masuk universitas atau tempat pendidikan formal tertentu. Sehingga muncullah sarana-sarana licik, seperti pembelian ijazah tanpa harus belajar, sogok menyogok, kampus bayangan, dan lain sebagainya.  
Kelihatannya memang bagus, karena masyarakat kita berlomba-lomba mengenyam pendidikan. Tetapi sebenarnya ada dampak negatif yang timbul, yaitu orientasi mengenyam pendidikan berubah, tidak lagi memperoleh ilmu, tetapi telah beralih untuk memperoleh legalitas ijazah. Akhirnya muncullah sarjana-sarjana, cendikiawan-cendikiawan yang tidak berbobot di bidangnya. Yang bisa dibanggakan cuma strata pendidikan mereka, bukan kemampuan mereka. Wajarlah jika saat ini sangat sedikit muncul orang-orang hebat, semisal bung Karno, Agus Salim, dan Muhammad Nasir di Indonesia.

Bukan untuk menggugat
Sekali lagi, penjelasan saya di atas bukan untuk menggugat pendidikan formal yang ada. Tetapi untuk menunjukkan bahwa saya tidak setuju dengan patokan orang yang cerdas, berpengetahuan, (terkait ketika akan melamar pekerjaan) tergantung dari strata pendidikan formal atau ijazah yang dimiliki. Sehingga jika ada orang yang punya ilmu yang luas dan keahlian yang banyak tetapi ia tidak punya legalitas, ijazah tetap saja orang ini belum dianggap berpengetahuan, kelasnya lebih rendah dari mereka yang berpendidikan formal.
Dan praktek seperti itu juga bertentangan dengan semangat konstitusi kita yang secara jelas menyatakan bahwa dalam pendidikan Indonesia mengedepankan tujuan “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Bukan membuat semua warga memiliki legalitas (ijazah) pendidikan. Dengan kata lain, negara harus memberikan kesempatan yang sama kepada setiap orang yang memiliki kemampuan, walaupun mereka tidak memiliki bukti formal ijazah, untuk menduduki jabatan dan posisi apa pun itu.     
Setiap orang harus dinilai dari kemampuannya bukan dari bukti formal. Sesuai asas hak asasi manusia bahwa setiap orang berhak memperoleh kesempatan yang sama untuk menduduki jabatan, dan pekerjaan apapun. Sehingga tidak boleh ada pengistimewaan ras, suku, bangsa, strata pendidikan formal, ijazah dan golongan. Kecuali berdasarkan kemampuan, pengetahuan dan keahlian yang dibuktikan secara nyata oleh tindakan.   Adalah pemerintah yang kita harapkan bergerak di garda depan untuk mengubah orientasi pendidikan yang telah menyeleweng itu. Salah satu caranya adalah dengan melarang setiap persyaratan yang menyatakan bahwa calon pekerja, pagawai dan lain sebagainya harus berpendidikan strata tertentu atau memiliki ijazah strata tertentu. Demikian, semoga bermanfaat!                       
Teuku Saifullah, (kader HMI Kom. Syariah IAIN Walisongo semarang). Di muat di Koran Serambi Indonesia pada 23 Juni 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar