![]() |
foto: kompas.com |
Sebagian besar
masyarakat Indonesia masih awam pengetahuannya tentang obat-obatan. Tidak
jarang muncul anggapan bahwa obat-obatan ditinjau dari segi kualitas ada
kelas-kelasnya. Anggapan itu adalah obat paten atau bermerek yang harganya jauh
lebih mahal, berbeda kualitasnya dengan Obat Generik Berlogo (OGB) yang cenderung
lebih murah.
Akhirnya,
yang terjadi adalah masyarakat, baik yang berduit maupun tidak, berusaha untuk
membeli obat bermerek dan paten karena dianggap lebih mujarab. Yang kasian itu
orang miskin, karena ketidak tahuannya pada obat-obatan, juga lebih memilih
membeli obat bermerek dan paten dari pada Obat Generik Berlogo (OGB) yang jauh lebih
murah harganya. Padahal dari segi kualitas dan komponen utama obatnya, antara OGB
dengan obat generik bermerek (obat bermerek) dan obat paten, persis sama.
Alasan kenapa Obat Generik Berlogo (OGB) lebih
murah dari pada obat bermerek lainnya adalah karena OGB tidak memerlukan biaya
promosi yang besar, dimana OGB merupakan program Pemerintah Indonesia yang pertama
kali diluncurkan pada 1989. Tujuan OGB diadakan untuk memberikan alternatif
obat yang terjangkau dan berkualitas kepada masyarakat. Soal mutu, sudah tentu
sesuai standar yang telah ditetapkan karena diawasi secara ketat oleh Pemerintah.
Hal yang juga perlu dipahami adalah OGB
dan obat generik bermerek hanya berbeda dari segi kemasan dan harga. Ciri dari
OGB dapat dikenali dari logo lingkaran hijau bergaris-garis putih dengan
tulisan "Generik" di bagian tengah lingkaran. Logo tersebut
menunjukan bahwa OGB telah lulus uji kualitas, khasiat dan keamanan, dan
garis-garis putih menunjukkan OGB dapat digunakan oleh berbagai lapisan
masyarakat. Sedangkan obat generik bermerek yang lebih umum disebut obat
bermerek adalah obat yang diberi merek dagang.
Sebenarnya, struktur industri obat di
beberapa negara maju hanya mengenal dua jenis obat, yaitu obat paten dan
generik. Obat paten adalah obat originator yang dibuat produsen berdasarkan
riset. Mereka mendapat hak paten dan produknya tidak boleh ditiru pihak lain.
Masa paten obat biasanya hingga 20 tahun.
Sedangkan obat generik berarti copy dari obat originator
yang habis masa patennya. Kendati hanya meng-copy,
kualitas kedua jenis obat harus sama. Namun di beberapa negara, termasuk
Indonesia, selain obat paten dan generik, terdapat pula di antara keduanya obat
generik bermerek yang dijual lebih mahal.
Untuk itu masyarakat tidak perlu ragu
menggunakan Obat Generik Berlogo (OGB), karena disamping kualitasnya sama
dengan obat merek lain, juga harganya lebih murah. Ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan masyarakat sebelum menggunakan Obat Generik Berlogo (OGB), yaitu;
- Bila menerima resep dari dokter atau menebus resep di Apotik dan keberatan dengan harga obat yang terlalu mahal, diskusikan dengan dokter atau apoteker mengenai kemungkinan penggantian obat menjadi obat generik, khususnya Obat Generik Berlogo.
- Bila setelah menggunakan obat generik, pasien merasakan efek yang berbeda dibandingkan dengan obat lainnya yang biasa digunakan, pasien dapat memberitahukannya kepada dokter dan apoteker.
- Untuk mengambil keputusan yang tepat tentang penggantian obat paten menjadi obat generik, pasien tetap perlu berdiskusi dengan dokter dan apoteker, mengingat ada beberapa obat dengan sifat-sifat khusus yang membuatnya sulit diganti menjadi obat generik.
Dalam menumbuhkan minat masyarakat menggunakan
OGB, dokter memegang peran sentral, karena dokter lah yang bertugas membuat
resep. Untuk urusan kesehatan, masyarakat percaya sepenuhnya pada dokter, tidak
pernah ada ceritanya pasien membantah perintah dokter. Kalau dokter
merekomendasikan OGB pada pasien, maka pasti pasien akan membelinya. Dan dengan
sendirinya, image buruk bahwa OGB adalah obat kelas dua akan hilang.
Penerapan Peraturan Menteri Kesehatan No
068/2010 yang mewajibkan resep obat generik di layanan milik pemerintah juga
harus dikawal dengan ketat dan cermat, baik dari segi kuantitas Obat Generik
Berlogo (OGB) yang tersedia maupun praktek tenaga medis dilapangan. Jangan
sampai praktek dilapangan berbeda dengan peraturan yang sudah ada.
Disamping itu, pemerintah seharusnya
segera memasang iklan di media massa, terutama elektronik yang berisi bahwa OGB
dari segi kualitas dan kandungan komponen utama obatnya sama persis dengan obat
bermerek lainnya. Upaya ini dilakukan untuk meyakinkan masyarakat pada OGB. Dan
bila memungkinkan, semua Obat bermerek lebih baik diberi logo OGB, karena memang
antara keduanya tidak ada perbedaan, kecuali dalam kemasan dan harga.
Teuku Saifullah, kader HMI
Komisariat Syariah IAIN Walisongo Semarang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar